Ayo Bergerak |
Semua itu tidak dapat dipungkiri ada keabsahannya. Namun untuk mengetahui lebih detail apa makna hijrah yang lebih dalam maka ada baiknya kita perinci arti kata hijrah dari segi bahasa (Lughotan) dan dari Redaksi pemakaiannya di dalam Al Qur’an.
1. Arti Hijrah Menurut Bahasa
Hijrah berasal dari bahasa arab “ هجرۃ ” yang artinya:
(1) pindah, menjauhi atau menghindari.
(2) kerasnya sesuatu ( الهجرالهاجرۃ الهجير ); berarti tengah hari di waktu panas sangat menyengat (keras).
Secara bahasa “hijrah” itu adalah menjauhi sesuatu dengan sangat keras karena adanya ketidaksetujuan dan kebencian.
2. Arti Hijrah dalam penggunaan Redaksi Al-Qur’an
2.1. Meninggalkan dan menjauhi sesuatu dengan kebencian
Di dalam QS Maryam (19) ayat 46 Allah Berfirman:
قَالَ اَرَاغِبٌ اَنۡتَ عَنۡ اٰلِهَتِيۡ يٰٓاِبۡرٰهِيۡمُ ج لَیءِنۡ لَّم تَنۡتَهِ لَاَرۡجُمَنَّكَ وَاهۡجُرۡنِيۡ مَلِيًّا
Artinya: “Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”.”
Dalam Ayat ini, dikisahkan Azar (ada yang menyebut bapak/paman nabi Ibrahim AS) mengusir Ibrahim dengan kalimat “وَاهۡجُرۡنِيۡ” yang artinya: “Hijrahi aku ! (Tinggalkan aku!), buat waktu yang lama / selamanya” . Hijrah dalam ayat ini adalah meninggalkan sesuatu dengan kebencian.
2.2. Meninggalkan sesuatu karena sesuatu itu kotor / najis.
Di dalam QS. Al-Mudatsir (74) ayat 5 Allah Swt berfirman:
وَالرٌجۡزَ فَاهۡجُرۡ
Artinya: “Dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah,”
Dalam ayat ini, Allah ta’ala memerintahkan kita untuk hijrah (pindah) dari segala yang kotor atau najis , maksudnya adalah menjauhi kemusyrikan, karena kemusyrikan adalah najis (kotor). Hijrah dalam ayat ini adalah meninggalkan sesuatu karena sesuatu itu kotor / najis.
2.3. Mengacuhkan sesuatu karena tidak menyukainya atau karena memusuhinya / membencinya.
Di dalam QS Al-Furqan (25) ayat 30 Allah Swt berfirman:
وَقَالَ الرٌ َسُوۡلُ يٰرَبِّ اِنَّ قَوۡمِی اتَّخَذُوۡاهٰذَاالۡقُرۡاٰنَ مَهۡجُوۡرًا
Artinya: “Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan”.”
Dalam ayat ini, Allah ta’ala memberitakan pengaduan Rasulullah Saw kepadaNya. Bahwa kaumnya menghijrahi (tidak mengacuhkan) Al-Qur’an, karena mereka (kafir itu) memusuhi / membenci Al-Qur’an dan pembawa Al-Qur’an (QS. 25/31).
Kata hijrah dalam ayat ini mengandung pengertian mengacuhkan, tidak memperhatikan, dan tidak menghiraukan, karena sesuatu itu tidak disenanginya.
2.4. Meninggalkan Negeri Kafir
Di dalam QS. Ali Imran (3) ayat 195 Allah Swt berfirman:
فَاسۡتَجَابَ لَهُمۡ رَبُّهُمۡ اَنِّيۡ لآَ اُضِيۡعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنۡكُمۡ مِّنۡ ذَكَرٍ اَوۡاُنۡثٰی ج بَعۡضُكُمۡ مِّنۡ بَعۡضٍ ج فَالَّذِيۡنَ هَاجَرُوۡاوَاُخۡرِجُوۡا مِنۡ دِياَرِهِمۡ....الح
Artinya: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.”
Dalam ayat ini, Allah ta’ala memberitakan pengabulan do’a Rasulullah Saw kepadaNya. Bahwa Allah akhirnya mengijinkan Rasulullah SAW untuk keluar meninggalkan negeri yang kafir setelah beliau dan para sahabat diusir dari negri tersebut.
Pengusiran orang kafir terhadap Rasulullah Saw dan para sahabat itu terjadi, karena Rasulullah dan para sahabat tidak setuju terhadap: dasar (ideology) negara, hukum, budaya, dan lain-lain yang dianut dan dikembangkan negara kafir yang menurut penilaian Rasulullah Saw adalah Jahiliyah.
Kata hijrah dalam ayat ini mengandung pengertian meninggalkan negeri kafir secara teritorial karena ketidak-setujuan / membenci dan memusuhi negeri tersebut.
2.5. Berpisah secara batin
Di dalam QS An-Nisa (4) ayat 34 Allah Berfirman:
...وَالّٰتِي تَخَافُوۡنَ نُشُوۡزَهُنَّ فَعِظُوۡهُنَّ وَاهۡجُرُوۡهُنَّ فِی الۡمَضَاجِعِ وَاضۡرِبُوۡهُنَّ
Artinya: “… Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka...”
Dalam ayat ini, Allah ta’ala memberi arahan bertahap kepada para suami menghadapi istrinya yang dikhawatirkan Nusyuz (menyimpang). Pertama dengan dinasihati, kemudian pisah ranjang hingga dipukul sekedar mengingatkan.
Berpisah atau pisah ranjang itu adalah tidak satu tempat tidur dengan istri walaupun masih satu atap (rumah). Kalimat berpisah dalam ayat ini menggunakan redaksi “Wahjuruhunna” (hijrahilah).
Kata hijrah dalam ayat ini adalah berpisah, walau masih satu atap atau berpisah secara I’tiqadi.
Dari beberapa penjelasan di atas, bisa kita simpulkan secara sederhana bahwa pengertian hijrah setidaknya memiliki 3 arti :
1. Pindah, meninggalkan, menjauhi atau berpisah dari sesuatu dengan kebencian, menuju sesuatu yang dia sukai atau cintai, bukan pindah atau berpisah biasa biasa saja seperti pindah rumah.
2. Dijauhinya sesuatu tersebut karena sesuatu tersebut mengandung kekotoran / najis yang tidak disukainya
3. Meninggalkan (pindah) dari sesuatu tersebut, bisa berarti secara fisik (pindah tempat) atau psikis (pindah keyakinan).
Pentingnya Hijrah
Sedemikian pentingnya hijrah dalam ajaran Islam hingga banyak kita dapati perintah melakukannya baik tersurat di dalam Al Qur’an dan Al Hadis. Berikut ini beberapa penjelasannya :
Mereka yang berhijrah kala itu adalah Muslim yang tidak lagi memiliki tujuan apa-apa selain daripada rahmat Allah Ta’ala.
اِنَّ لَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡاوَالَّذِيۡنَ هَاجَرُوۡا وَجَاهَدُوۡا فِيۡ سَبِيۡلِ الَّلهِ اُوۡلَءِیكَ يَرۡجُوۡنَ رَحۡمَتَ الَّلهِ وَااَّللهُ غَفُوۡرٌرَّحِيۡمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 218).
Pada ayat yang lain Allah tegaskan bahwa orang yang berhijrah itulah orang yang terbukti benar keimanannya.
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. ” (QS. Al-Anfal [8]: 74).
Maka dari itu, mereka yang berhijrah di jalan Allah adalah orang yang tinggi derajatnya dan termasuk orang yang mendapat kemenangan besar.
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. At-Taubah [9]: 20).
Dalam menafsirkan ayat tentang hijrah pada QS. 9: 20 tersebut, Sayyid Qutb dalam tafsir Fi Dzilalil Qur’an mengatakan bahwa, Sesungguhnya tidak ada wujud hakiki (dari keimanan seorang Muslim) hanya semata-mata dengan memeluk akidah, dan bukan pula dengan semata-mata melaksanakan ibadah-ibadah ritual.
Agama ini adalah manhaj kehidupan yang tidak tercermin wujud nyatanya kecuali dalam akumulasi gerakan, dalam bentuk masyarakat yang bekerja sama bahu-membahu. Adapun keberadannya dalam bentuk akidah hanyalah wujud hukmi (secara hukum) saja, bukan wujud riil, kecuali bila tercermin dalam bentuk gerakan nyata.
Dengan demikian makna hijrah dapat dipahami sebagai suatu gerakan perpindahan secara totalitas, mulai dari fikriyah hingga amaliyah, dari jahiliyah menuju Islamiyah dalam satu gerakan yang rapi, sistemik dan keseluruhan, baik dalam konteks pribadi maupun sosial.
Dan jika hijrah yang merupakan suatu gerakan perpindahan secara totalitas itu dijalankan secara benar maka kita akan mampu menyambut seruan Allah Swt dalam surat Al-Baqarah ayat 208, “Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam. janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian,” (Surat Al-Baqarah ayat 208).
Beberapa Hal Yang Harus Diwaspadai
1. Tipuan Hijrah
Mengapa kami memakai kata “tipuan”. Sebab banyak dari kita ternyata tertipu oleh slogan hijrah dari lingkungan sekitar kita baik di dunia nyata maupun dunia maya. Tak bisa dipungkiri kini banyak bertebaran ajakan hijrah terutama di dunia maya.
Banyak kita dapati para selebritis (baik Selebgram; artis; penyanyi; tokoh masyarakat dll) yang kini seolah mengalami euforia hijrah. Ada banyak artis yang dulu suka umbar aurat kini bertaubat menjadi sosok yang menutup aurat. Ada yang bertato kini suka ikut pengajian.
Ada yang dulu terjerembab pada dunia narkotika kini bertaubat dan menjadi pendakwah. Dan semua itu kini disebut dengan frasa hijrah dalam kamus media sosial.
Apakah itu salah? Tentu tidak. Bahkan itu sangat positif karena bisa jadi bagian dari dakwah mengentaskan manusia dari kemaksiatan menuju taubat. Apalagi sosok para artis sangat besar pengaruhnya. Jika mereka berbuat suatu kebaikan maka peluang orang yang akan mengikutinya jauh lebih besar sebab mereka adalah gambaran inspirasi bagi para pengidolanya.
Namun dari semua itu yang harus lebih diperhatikan adalah dari segi batin (hati). Bisakah mereka selamat dari cipratan Riya’ . Karena sebagus apapun amal (perbuatan) jika terikut Riya’ di dalamnya meski hanya sekecil kuku maka menjadi sia-sia lah semua itu.
Para pelaku Hijrah yang kini banyak mengunggah kegiatannya pasca hijrah di berbagai media sosial berpeluang besar terciprat Riya’ tersebut. Meski bisa jadi niat awalnya baik, dengan mengunggah tampilannya yang kini berhijab syar’i bahkan bercadar ke medsos agar menginspirasi orang lain, membagi swafoto dengan latar majlis taklim, membagi foto saat menyumbang untuk korban bencana dsj namun kewaspadaan tetap diperlukan agar virus Riya’ tidak mudah merasuk ke dalam hati mereka.
Sebab Riya’ bisa masuk ke dalam hati anak Adam sehalus hembusan angin. Maka bagi kita semua yang sedang melakukan hijrah (pembenahan diri) wajib menancapkan di dalam hati bahwa semua amal kebaikan yang kita lakukan ini tidak lepas dari bantuan Allah SWT.
Maka doa yang diajarkan oleh para Salaf Saleh di setiap sholat hendaknya tidak boleh kita lupakan, “Allahumma A’inni Ala Dzikrika, Wa Syukrika, Wa Husni Ibadatika.” Ya Allah aku mohon bantulah aku untuk bisa mengingatMu, bersyukur kepadaMu, dan beribadah dengan baik kepadaMu. Dan yang tak boleh ditinggalkan pula adalah selalu menata niat di dalam setiap tindakan kita.
2. Kemungkaran Dalam Perayaan Tahun Baru (Muharram)
Seperti perayaan pada umumnya, peringatan tahun baru Islam juga tak lepas dari unsur festivalisasi. Biasanya untuk menyemarakkan peringatan Tahun Baru Islam banyak diadakan kegiatan yang bernafaskan islami seperti lomba mengaji bagi anak-anak TPQ, pengajian umum, sholawatan, sunatan masal, santunan anak yatim piatu karena Asyuro adalah “hari raya” anak Yatim Piatu hingga pawai Muharram di jalan-jalan.
Semua itu diperbolehkan karena masuk dalam ranah Bid’ah Hasanah. Dan juga termasuk pengagungan syiar agama Allah, Demikianlah (perintah Allah). “Dan barangsiapa mengagungkan syi´ar-syi´ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.”(QS.Al Hajj : 32).
Namun tetap harus ada pembenahan dalam penyelenggaraan semua kegiatan-kegiatan itu. Hal yang paling sederhana dan jamak terjadi adalah masalah ikhtilat (bercampur-baur lawan jenis) tanpa satir di dalam beberapa kegiatan tersebut, melanggar hak pengguna jalan saat pawai, pawai dengan membawa simbol atau aksesoris yang tak islami, mengundang biduanita meski (genre) musiknya sholawatan yang akhirnya menjadikan ikhtilat dan berjoget ria dsj.
Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) di dalam kitabnya At Tanbihatul Wajibat menyatakan bahwa perayaan maulid dan yang semacamnya ketika dicampuri perkara munkar, maka dihukumi haram. Sebab tergolong menempatkan perkara yang diagungkan di selain posisi atau tempat yang diagungkan. Hal ini berdampak haram.
Maka pembenahan tetap perlu sebab siapa yang mengagungkan syiar-syiar Alllah dengan semestinya sesuai syariat maka mereka itulah yang baru benar-benar bisa dikategorikan ke dalam golongan yang masuk ke dalam definisi takwa hati.
Sedangkan yang hanya mengi-karnaval-kan perayaan-perayaan tahun baru islam tanpa adab maka tiada yang didapat kecuali lelah dan bisa jadi murka Allah.
Hijrah Dalam Perspektif Sufi
Di dalam banyak hadis Nabi Saw dijelaskan bahwasannya, “Tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan Kota Mekah. Yang ada adalah Jihad dan Niat.” (HR. Bukhari & Muslim).
Lantas apakah kita yang hidup di akhir zaman ini harus pasif berpangku tangan saja? Tentu tidak. Sebab kewajiban Jihad dan niat tetap ada hingga akhir dunia. Bahkan Nabi Saw juga bersabda,”Hijrah tidak dihapus sebelum taubat dihapus. Dan taubat tidak akan dihapus sebelum matahari terbit dari arah barat.”(HR. Abu Daud & Ahmad).
Artinya selama kehidupan dunia masih berjalan maka selama itu hijrah masih diwajibkan. Yang dihapus setelah Fathu Makah adalah hijrah secara fisik semata, namun secara esensi yang lain hijrah masih diperlukan. Seperti hijrah dari perbuatan dosa dan kebodohan. Sebab,”Orang yang berhijrah (Muhajjir) adalah orang yang berhijrah dari apa yang dilarang oleh Allah.”(HR.Bukhari).
Bukankah maksiat, dosa, dan kebodohan adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT. Hijrah merupakan fase penting seseorang untuk memperbaiki diri. Hijrah merupakan roh yang menjiwai gerakan seorang Muslim. Hijrah juga sering kali dimaknai sebagai perpindahan atau peralihan dari satu ke lain kondisi. Jadi tidak semata perpindahan secara fisik.
Esensi hadis-hadis tentang hijrah ditangkap oleh ulama fiqih sebagai pesan penting Rasulullah SAW perihal niat seseorang dalam berbuat baik. Hal ini tidak jauh dari pemahaman kalangan sufi yang menempatkan hijrah sebagai kebulatan tekad untuk Allah dan rasul-Nya sebagaimana keterangan Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam berkut ini:
وانظرالی قوله صل اﷲ عليه وسلم فمن كانت هجرته الی اﷲ ورسوله فهجرته الی اﷲ ورسوله ومن كانت هجرته الی دنيا يصيبها اوامراۃ يتزوجها فهجرته الی ماهاجر اليه فافهم عليه الصلاۃ والسلام وتاءمل هذاالاءمر ان كنت ذافهم
Artinya, “Perhatikanlah sabda Rasulullah SAW, ‘Siapa saja yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Tetapi siapa yang berhijrah kepada dunia yang akan ditemuinya, atau kepada perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya kepada sasaran hijrahnya.’ Pahamilah sabda Rasulullah SAW ini. Renungkan perihal ini bila kau termasuk orang yang memiliki daya paham.”
Syekh Ibnu Abbad mengatakan bahwa hijrah kepada Allah dan rasul-Nya adalah tuntutan secara eksplisit terhadap manusia untuk membulatkan hati semata-mata untuk Allah dan larangan secara implisit untuk memberikan hati untuk segala hal duniawi.
فقوله فهجرته الی اﷲ ورسوله هو معنی الارتحال من الاكوان الی المكون وهوالمطلوب من العبد وهو مصرح به غايۃالتصريح وقوله فهجرته الی ماهاجر اليه هو البقاء مع الاكوان والتنقل فيها فهوالذي نهی عنه وهو مشاربه غير مصرح . فليكن المريد عالي الهمۃ والنيۃ حتی لايكون له التفات الی غير ولاكون البتۃ
“Kata ‘maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya’ mengandung pengertian berpindah dari alam kepada Penciptanya. Inilah yang dituntut dari seorang hamba. Tuntutan ini diungkapkan dengan sangat eksplisit. Sedangkan kata ‘maka hijrahnya kepada sasaran hijrahnya’ mengandung pengertian kebersamaan dengan alam dan hanya berpindah-pindah di dalamnya. Ini yang dilarang dari seorang hamba. Larangan ini diisyaratkan secara implisit. Oleh karena itu, seorang murid hendaknya memiliki semangat dan cita-cita yang mulia sehingga tidak lagi berpaling sama sekali kepada yang lain dan alam,” (Lihat Ibnu Abbad, Gayatul Mawahibil Aliyyah, [Indonesia, Al-Haramain Jaya: 2012], juz I, halaman 37).
Pemahaman ulama fiqih dan para sufi terhadap hadits ini tidak berbeda jauh. Niat menjadi landasan perbuatan baik. Bahkan para sufi mengingatkan untuk tidak terpedaya dengan sesuatu yang secara kasatmata adalah nikmat dan syariat Allah.
وقال الشبلي رضيﷲ تعال عنه احذرمكره ولوفي قوله كلوا والشربوا يريد لا تستغرق في الحظ ولتكن في شيء به لابنفسك فقوله كلوا و الشربوا وان كان ظاهره اكراما وانعاما فان في بطنه ابتلاء واختبارا حتی ينظر من هو معه ومن هو مع الحظ
“As-Syibli Radiyallahu Anhu berpesan, waspadalah dengan tipu daya-Nya meskipun dalam firman-Nya dikatakan ‘Makan dan minumlah kalian,’ (Al-Baqarah ayat 60).
Ini maksudnya adalah pesan ‘Janganlah kalian tenggelam di dalam keinginan. Hendaklah kalian tetap bersama-Nya dalam setiap hal, bukan bersama nafsumu.’ Perintah ‘makan dan minumlah,’ meskipun secara kasatmata adalah bentuk penghormatan dan pemberian nikmat, tetapi secara batin adalah ujian dan cobaan sehingga seseorang dapat melihat siapakah dirinya ketika bersama Allah dan siapakah dirinya saat bersama nafsu,” (Lihat Ibnu Abbad, Gayatul Mawahibil Aliyyah, [Indonesia, Al-Haramain Jaya: 2012], juz I, halaman 37).
Dapat dikatakan bahwa hijrah bagi para sufi adalah upaya keras untuk memberikan hati semata kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Ini yang disampaikan oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam dengan mengutip Surat An-Najm ayat 42:
لا ترحل من كون الی كون فتكون كحمار الرحی يسير والمكان الذي ارتحل اليه هوالذي ارتحل منه ولكن ارحل من لاكوان الی المكون )وانّ الی ربّك المنتهی
Artinya, “Janganlah kau berpindah dari alam ke alam karena kau akan seperti keledai pengilingan, di mana tujuan yang sedang ditempuhnya adalah titik mula ia berjalan.
Tetapi berpindahlah dari alam kepada Penciptanya. Allah berfirman, ‘Hanya kepada Tuhanmu titik akhir tujuan,’ (Surat An-Najm ayat 42).”
Dengan demikian, artinya hijrah tidak dimaknai perpindahan dalam arti fisik, geografis, atau perilaku yang kasatmata. Hijrah bagi para sufi dan juga ulama fiqih sebagai kekuatan batin dalam menyisihkan segala sesuatu selain Allah dari dalam hatinya.
Penutup
Wahai Pencari, Berhijrahlah
(Divan-i Syamsi Tabriz No.27)
“Jika pohon punya sayap atau kaki,
tentulah ia bisa bergerak,
sehingga tak diterimanya sakit dari mata gergaji
atau dari pukulan kampak.
Dan jika matahari tak bergegas ketika
malam tiba, bagaimanakah bumi akan diterangi
ketika fajar merekah.
Dan jika air tidak menguap dari laut ke langit,
kapankah taman akan dialiri sungai
dan dibasahi hujan.
Ketika setitik benih bergerak dari sumbernya
ke tujuan, ditemukannya rumahnya, dan
lalu menjadi sebutir mutiara.
Bukankah Yusuf, walau sambil berlinang air-mata,
mengembara meninggalkan ayahnya.
Bukankah dalam pengembaraan itu,
dia menemukan kerajaan, ketenaran dan kemenangan?
Bukankah Mustapha berhijrah,
dan di Madinah memperoleh kedaulatan,
dan menjadi tuan dari berbagai negeri?
Kalaupun kaki tak engkau miliki,
tempuhlah hijrah di dalam dirimu sendiri,
(Itu) bagaikan tambang merah-delima mulai
tersingkap oleh secercah cahaya matahari.
Wahai pencari, berhijrahlah,
keluar dari kampung halamanmu, menuju
ke kedalaman dirimu sendiri.
Karena dengan hijrah seperti itu,
bumi menjadi tambang emas.
Dari yang semula masam dan pahit,
berkembanglah menjadi sesuatu yang manis.
Bahkan dari tanah yang tandus,
tumbuh berbagai jenis buah-buahan.
Lihatlah kejaiban ini,
yang tergelar di bawah matahari kebanggaan Tabriz.
Karena semua pohon mendapatkan keindahannya
dari cahaya matahari.”
Syair Maulana Jaludin Rumi di atas harusnya menyadarkan kita bahwa umat Nabi Muhammad SAW ini bisa berjaya dengan adanya Hijrah. Dan hijrah (bergerak) adalah sebuah ritme alam yang dilakukan seluruh makhluk Allah di alam semesta ini. Karena yang diam maka dia akan tergilas. Bayangkan seandainya Nabi Saw tidak melakukan hijrah apakah ajaran Islam akan terlaksana.
Sebab hampir separuh lebih ajaran (kewajiban-kewajiban dalam syariat) islam baru dititahkan setelah Nabi Saw berada di Madinah, artinya itu terjadi pasca hijrahnya Nabi Saw. Seandainya Nabi Saw tetap di Mekah apakah Islam akan tersebar ke seluruh pelosok bumi.
Bahkan dalam wilayah yang lebih kecil saja, seandainya para Walisongo tidak melakukan hijrah dari Hadramaut Yaman dalam rangka dakwah apakah Nusantara akan bisa mengenal Tauhid.
Seandainya anak cucu nabi tersebut tidak datang ke nusantara apakah kita bisa lepas dari penghambaan kepada sesama makhluk yang bahkan lebih rendah derajatnya dari manusia, seperti menyembah pohon, batu, hewan, roh halus dll.
Maka dapat disimpulkan bahwasannya Hijrah adalah suatu anugerah besar Allah bagi umat Nabi Muhammmad Saw. Maka syukuri ia dengan mengamalkannya. Hijrahlah dari keburukan ke dalam kebaikan dalam rangka memperbaiki diri, keluarga dan negeri.
Karena siapa yang hari ini lebih baik daripada kemaren maka dia beruntung; siapa yang hari ini sama dengan kemaren maka dia merugi; dan siapa yang hari ini lebih buruk daripada kemaren maka dia celaka.
Di sinilah setiap Muslim harus melakukan agenda perubahan. Dengan spirit hijrah, itu bukan suatu yang mustahil. Sebab, Allah tidak akan pernah merubah suatu kaum (termasuk pribadi kita) jika kita sendiri tidak mau merubahnya (QS. 13: 11).
Jika Rasulullah dan sahabat berhasil menjadi Muslim kaffah dengan berhijrah, mengapa kita tidak meneladaninya dengan target dan tujuan yang sama sebagai wujud nyata bahwa kita benar-benar ingin berubah. Wallahu A’lam Bis Showab.
*Santri Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan
Dimuat Di :
https://hidayatullah.com/kajian/oase-iman/2020/08/21/190810/esensi-hijrah.html