Haruskah Sekolah?

Masih Perlukah Sekolah ?

Oleh : Muhammad Syafi'i Kudo


"Di muka bumi ini tidak ada satupun yang menimpa orang-orang tak berdosa separah sekolah. Sekolah adalah penjara. Tapi dalam beberapa hal sekolah lebih kejam ketimbang penjara. Di penjara, misalnya, anda tidak dipaksa membeli dan membaca buku-buku karangan para sipir atau kepala penjara." (Bernard Shaw dalam buku Parents And Children).

Anda boleh tidak setuju dengan pendapat sastrawan masyhur asal Inggris yang dikutip di awal buku Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Eko Prasetyo tersebut. Bahkan anda bisa melawan balik pernyataan satire yang terkesan memojokkan lembaga pendidikan yang lumrah disebut dengan sekolah itu.

Namun yang jelas, sekarang adalah bulan Juli. Dimana di bulan ini ada ciri khas tersendiri yang sudah menjadi rahasia umum. Bahwasannya di Republik ini di bulan Juni-Juli ada sebuah "beban" tahunan yang dialami oleh para orang tua.

Yakni beban keuangan keluarga yang makin bertambah pada tahun ajaran baru. Entah itu untuk biaya pendaftaran, beli seragam, beli alat tulis, beli buku paket dsb. Semua itu menjadi fenomena tahunan di negeri ini yang mau tidak mau harus dijalani demi mengikuti aturan wajib dari negara yang berupa wajib sekolah (minimal) 9 - 12 tahun.

Penulis sengaja tidak menulis "wajib belajar" namun memilih frasa "wajib sekolah" karena ada yang tidak tepat dalam penggunaan istilah “wajib belajar 12 tahun” yang sedari dulu digalakkan oleh pemerintah tersebut.

Memang benar sekolah adalah wadah resmi yang diadakan oleh negara dan swasta untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar. Namun harus dicatat bahwa sekolah bukanlah satu-satunya wadah untuk mendukung proses belajar-mengajar, karena ada berbagai wadah lainnya yang juga menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar, seperti Pesantren dan Home Schooling misalnya.

Bahkan ditengarai bahwa pesantren adalah wadah belajar-mengajar yang usianya lebih tua daripada sekolah di negeri ini. Karena tak bisa dipungkiri bahwa cikal bakal sekolah modern di Indonesia saat ini adalah produk dari Politik Etis Pemerintah Kolonial Belanda yang dicetuskan dalam Trias Van Deventer melalui keputusan Ratu Wilhelmina pada 17 September 1901. 

Berbeda dengan sistem pendidikan Pesantren yang tumbuh dari akar pribumi. Pesantren bahkan telah mencerdaskan kaum pribumi setidaknya sejak abad 15 di masa Ampel Denta yang diasuh oleh Raden Rahmad (Sunan Ampel) di Ampel, Surabaya.

Sejarah Sekolah 

Sekolah berasal dari kata skhole, scola, scolae atau schola (Latin), kata itu secara harfiah berarti 'waktu luang' atau 'waktu senggang'. Alkisah, orang Yunani tempo dulu biasanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang yang pandai dalam bidang tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui.

Mereka menyebut kegiatan itu dengan kata atau istilah skhole, scola, scolae atau schola. Keempatnya punya arti sama yakni waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar alias leisure devoted to learning. (The Heritage llustrated Dictionary of tire English Language, Volume 11, Houghton Mifflin, Boston, Mass., 1979).

Lama kelamaan, kebiasaan mengisi waktu luang mempelajari sesuatu itu, akhirnya, tidak lagi semata-mata jadi kebiasaan kaum lelaki dewasa atau sang ayah dalam susunan keluarga pati masyarakat Yunani Kuno. Kebiasaan itu juga kemudian diberlakukan bagi putra-putri mereka, terutama anak laki - laki, yang diharapkan nantinya dapat menjadi pengganti sang ayah. Karena desakan perkembangan kehidupan yang kian beragam dan kian menyita waktu, sang ayah dan sang ibu merasa bahwa mereka pun tak lagi punya waktu untuk mengajarkan banyak hal kepada putra-putrinya.

Karena itu, mereka kemudian mengisi waktu luang anak-anak mereka dengan cara menyerahkannya pada seseorang  yang dianggap tahu atau pandai di suatu tempat tertentu, biasanya adalah orang dan tempat di mana mereka dulu pernah ber-skhole.

Di tempat itulah anak-anak bisa bermain, berlatih melakukan sesuatu, belajar apa saja yang mereka anggap memang patut untuk dipelajari, sampai tiba saatnya kelak mereka harus pulang kembali ke rumah menjalankan kehidupan orang dewasa sebagaimana lazimnya.

Maka, sejak saat itulah, telah beralih sebagian dari fungsi scola mattema (pengasuhan ibu sampai usia tertentu), yang merupakan proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia, menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu). Itulah pula sebab mengapa lembaga pengasuhan ini kemudian biasa juga disebut “ibu asuh” atau “ibu yang memberikan ilmu” (alma mater).

Waktu terus berlalu. Para orangtua makin terbiasa saja memercayakan pengasuhan putra-putri mereka kepada orang-orang atau lembaga-lembaga pengasuh pengganti mereka di luar rumah tersebut, dalam jangka waktu yang semakin lama dan dengan pola yang semakin teratur pula.

Karena makin banyak anak yang harus diasuh, maka mulai pula diperlukan lebih banyak pengasuh yang bersedia meluangkan waktunya secara khusus untuk mengasuh anak-anak di suatu tempat tertentu yang telah disediakan, dengan peraturan yang lebih tertib, dan dengan imbalan jasa berupa upah dari para orang tua anak-anak itu. (Sekolah Itu Candu, Halaman 26-28). Nah, dari kisah itulah lembaga sekolah modern konon berawal.

Kritik Kepada Sekolah 

Menarik jika mencermati sejarah asal muasal sekolah. Ternyata sekolah awalnya berasal dari kelonggaran waktu dimana manusia di zaman tersebut mendatangi para ahli di bidangnya untuk belajar kepada mereka. Namun lambat laun keluangan waktu tersebut kini dilembagakan dalam bentuk sekolah modern yang diadakan dalam sebuah kelas yang mewajibkan manusia menyerahkan waktu utamanya, bukan lagi waktu senggangnya.

Dan ironisnya, waktu yang terampas demi kewajiban sekolah berlanjut pula di luar jam sekolah, baik itu untuk mengerjakan tugas, ekstrakulikuler wajib, belajar untuk menghadapi ulangan dsj. Selain masalah “pemaksaan waktu”, ada pula sisi lain yang dikritik oleh beberapa ahli, misalnya masalah tata ruang, kurikulum dan sistem pengajaran di dalam sekolah hari ini.

Acep Iwan Saidi, Dosen Pascasarjana Institut Teknologi Bandung (ITB), dalam tulisannya “Sekolah Tanpa Ruang Belajar” di harian Kompas, (24/06/11) menuliskan bahwa kasus contek massal, perkelahian pelajar SMP-SMA hingga tawuran para mahasiswa adalah potret muram sekolah di negeri ini yang menurutnya diakibatkan oleh kegagapan dalam menyikapi dan melaksanakan sistem pendidikan modern yang diadopsi dari Barat.

Dahulu ketika sistem pendidikan modern ala Barat pertama kali dipakai maka sejarah mencatatnya sebagai titik awal pencerahan, namun hal itu kini agaknya harus ditinjau ulang, karena apa yang disebut dengan ke-modern-an itu sendiri kini patut dipertanyakan hakikat dan faedahnya.

Acep Iwan Saidi yang juga Ketua Forum Studi Kebudayaan Seni Rupa ITB  membongkar perlahan-lahan akar kemuraman pendidikan di negeri ini mulai dari yang terkecil, yaitu desain kelas dalam sekolah modern saat ini. 

Tata kelas sekolah modern saat ini tentu saja berbeda dengan tata ruang dan cara belajar tradisional seperti yang jamak ditemui di pesantren-pesantren. Karena desain kelas pada sekolah modern ditata khusus; siswa duduk rapi di atas bangku yang berjejer menghadap guru di depan ruang yang mana hal itu dianggap sebagai metafora modernisme yang mengusung semangat progressif menatap ke masa depan.

Acep mengutip Adolf Loos dalam bukunya, Ornament And Crime, yang mengatakan bahwa ornamen sebagai ciri tradisi pada arsitektur adalah sebuah bentuk kriminal, karena siswa dipatok meraih kebaruan dari masa depan.

Tatanan kelas sekolah modern ini juga menciptakan pasangan berlawanan , sebuah oposisi biner. Dimana guru menjadi ordinat (sumbu utama) dan menempatkan siswa hanya sebagai sub ordinat. Dengan demikian guru diposisikan sebagai pusat kuasa yang memiliki kebenaran mutlak di dalam kelas.

Kemudian penataan bangku yang awalnya satu bangku diperuntukkan bagi tiga siswa kini didesain ulang menjadi untuk dua siswa dan bahkan ada yang untuk satu siswa saja seperti di sekolah-sekolah internasional di negeri ini dan seperti juga di kampus-kampus. Hal ini -menurut Dosen Pascasarjana tersebut- dapat mengikis komunikasi verbal dari para penghuni kelas dan akan makin membiakkan sikap individualistis pada diri peserta didik.

Kemudian ada lagi tata kelas yang disoroti akademisi ITB tersebut, yaitu ketika suasana belajar yang harus dibuat setenang mungkin tanpa ada keriuhan dari para siswa. Selain suara guru maka tiada yang boleh bersuara sebelum diberi izin. Bahkan membaca pun harus di dalam hati.

Tatanan kelas seperti inilah yang membuat hubungan antara guru-murid menjadi mekanis karena guru-murid berada dalam mesin struktur. Dan dalam sistem seperti ini hanya mereka yang mengikuti permainan saja yang akan berhasil. Bukti konkretnya adalah siswa yang mampu menyerap pelajaran adalah siswa yang taat pada guru dan peraturan. Sisi positif dari sistem ini memang ada, yakni diantaranya banyak dilahirkannya siswa yang cerdas secara IQ yang mana kini Indonesia menjadi salah satu produsen siswa peraih emas olimpiade SAINS Fisika dan Matematika tingkat dunia.

Namun sisi minus dari sistem pendidikan semacam ini adalah kian terlupakannya nilai-nilai kolektifitas yang merupakan ruh yang menciptakan dan menggerakkan prilaku masyarakat. Karena karakter kita tidak berpijak pada kemajuan rasio semata namun lebih pada kecerdasan emosi.

Hal inilah yang kini sedang ramai dibicarakan oleh para petinggi di negeri ini. Mereka mulai risau karena bangsa ini kian kehilangan karakternya sebagai bangsa besar yang majemuk nan dinamis.

Oleh sebab itu mereka beberapa kali mendesak pemerintah agar sesegera mungkin me-reformasi sistem pendidikan nasional agar lebih memberi porsi lebih pada pembelajaran yang mengarahkan pada peningkatan kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) yang diharapkan akan mampu membentuk karakter bangsa ini agar lebih dinamis, tidak stagnan dan mengarah ke arah kemunduran seperti sekarang.

Negara harus sesegera mungkin menyusun kurikulum sekolah yang lebih dapat memposisikan anak didik sebagai manusia apa adanya dan bukan sekedar bagian dari mesin indoktrinasi rumus-rumus rasionalitas semata dan kering moralitas.

Karena tanpa moralitas, maka sekolah hanya akan menjadi pabrik penghasil manusia-manusia pandai tanpa karakter yang hanya akan menilai segala sesuatu secara matematis dan berkutat pada angka semata tanpa menghadirkan ke- adab-an dalam hidup ditengah-tengah masyarakat.

Karena hal ini sangat membahayakan kelangsungan hidup bangsa ini pada akhirnya. Contoh kongkret dari hal ini adalah banyaknya produk sekolah kita yang otaknya mahacanggih yang ketika jadi wakil rakyat ternyata hanya bisa memperjuangkan aspirasi konstituennya jika secara matematis hal itu dianggap menguntungkan dan menghasilkan rupiah.

Ketika menjadi pengusaha maka mereka akan berada di garda depan dalam proyek-proyek tender besar, pembukaan tambang, perambahan hutan, pengerukan bumi, pengeboran lepas pantai dan berbagai lahan bisnis “basah” lainnya tanpa peduli kerusakan lingkungan dan kehidupan sosial manusia di sekitarnya.

Ini adalah fakta gamblang yang membuktikan bahwa ketika pendidikan hanya ditujukan untuk mencetak otak matematis belaka maka saat itu pula reproduksi wayang-wayang kapitalis, liberalis, dan sekuleris akan tetap berlangsung.

Dan apa yang terjadi selanjutnya, sudah tentu kerusakan di berbagai lini kehidupan di negara ini akan makin parah. Karena telah menjadi fakta sejarah bahwa para kapitalis, liberalis dan sekuleris membuat negeri Muslim ini kian jauh dari kriteria Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur yang gemah ripah loh jinawi.

Keberkahan seakan makin sulit digapai. Mimpi menegakkaan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia kian menjadi utopis karena yang terjadi adalah sebaliknya, makin menganganya jurang ketimpangan sosial di negeri ini.

Penutup

Jika setelah membaca tulisan ini lantas timbul di benak anda sebuah tanya, “Apakah sekolah masih bermanfaat ?” Jawabannya adalah bersekolah tetap bermanfaat. Karena di lembaga sekolah kita masih berpeluang menjadi orang yang baik namun dengan syarat sekolah tersebut memiliki kurikulum yang baik pula.

Sekolah menurut Shiv Khera, seorang penulis yang concern pada bidang pengembangan diri dan bisnis, hanyalah ibarat sebuah sumur, terserah anda apakah ingin menimba air darinya, sekedar meminum sedikit airnya atau bahkan hanya anda lewati tanpa hirau sumber air tersebut, semua itu terserah anda karena kemanfaatannya tergantung pada perlakukan anda padanya.

Sekolah modern yang merupakan peninggalan kolonialis Belanda lewat Poltik Etis-nya hanyalah satu dari sekian banyak wadah untuk kita menimba ilmu di dalamnya. Dengan kata lain, belajar tidak melulu harus di sekolah. Belajar bisa di mana saja dan kapan saja karena tidak ada pembatasan tempat dan waktu dalam menempuhnya.

Seperti yang dikemukakan di awal tulisan, penulis kurang sependapat dengan Pemerintah yang selalu mengkampanyekan jargon Wajib Belajar (WAJAR) 9-12 tahun bagi seluruh anak Indonesia. Karena ada “penyesatan” di dalam jargon tersebut. Seakan-akan belajar yang diwajibkan hanyalah 12 tahun belaka. Dan seolah-olah belajar hanyalah dengan cara bersekolah semata.

Sedangkan di dalam Islam, belajar itu wajib dimulai dari buaian hingga liang lahat kelak. Tidak ada pembatasan tempat dan waktu. Bahkan ada istilah Alam Terkembang Jadi Guru dalam adagium Minangkabau. Yang artinya alam sekitar ini adalah guru dan media pembelajaran yang bisa kita ambil ilmu darinya. Sebab alam adalah merupakan ayat Kauniyah. Artinya yang dimaksud oleh Pemerintah sebenarnya adalah “Wajib Sekolah 12 Tahun” bukan “Wajib Belajar 12 Tahun”. Karena ada perbedaan makna yang sangat besar di antara kedua istilah tersebut.

Agus Sunyoto, penulis buku Atlas Walisongo, saat ditanya pandangannya mengenai sekolah mengatakan bahwa hendaknya kita menganggap sekolah sebagai tradisi belaka. Artinya bersekolah adalah sesuatu yang harus dijalani sebagai kebiasaan di masyarakat. Yang mana konsekuensinya adalah meskipun tidak berdosa ketika meninggalkannya namun tetap akan mendapatkan cibiran dari masyarakat karena dianggap melanggar tradisi.

Hari ini kita masih menjalani rutinitas di tengah pandemi yang berimbas kepada semua ritme kehidupan. Tak terkecuali kegiatan belajar-mengajar di sekolahan. Setiap musibah pasti membawa hikmah, termasuk wabah ini. Sistem pembelajaran di sekolah akhirnya menyesuaikan dengan keadaan. Pembelajaran jarak jauh lewat sistem daring akhirnya menjadi solusi. Tanpa bertatap muka di kelas kegiatan belajar-mengajar tetap dilaksanakan dari rumah lewat media daring.

Hal ini makin membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa tanpa berada di dalam bangunan yang bernama sekolah pun kita masih dapat belajar. Bahkan ada ruang kelas yang lebih besar  yang telah disediakan oleh Allah bagi semua anak manusia tanpa pandang status kaya dan miskin. Ruang kelas besar tersebut bernama alam. Alam Terkembang Jadi Guru, demikian adagium purba dari tanah Minangkabau berbunyi.

Bagi yang putus maupun diputus oleh kondisi hidup dan tak mampu melanjutkan sekolah, maka tetap belajarlah di sekolah yang disediakan oleh Allah tersebut. Tak usah ragu, karena modal utamanya bukan rupiah semata namun kemauan. Akhirnya selamat belajar buat semua anak Indonesia. Semoga Allah memberkahi ilmu kita semua. Wallahu A'lam Bis Showab. (Senyapena)

Dimuat di :

BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama