Rasisme Paman Sam

    Rasisme; Wajah Buram Negeri Paman Sam


Racism In USA


Paman Sam membara kembali. Bukan karena Covid 19 yang memang masih melanda di sana, namun akibat gelombang protes masal kasus rasisme yang kembali terjadi.

Adalah George Floyd, warga Amerika berkulit hitam (Afro Amerika) yang menjadi sumbu pemicu aksi di seluruh AS bahkan hingga Eropa itu.

George Floyd tewas karena tidak bisa bernafas akibat himpitan lutut seorang polisi berkulit putih di Minneapolis bernama Derek Chauvin.

Rasisme berdasar warna kulit ini bukan kali ini saja terjadi di AS. Mengutip BBC, Jumat (29/5/2020), kasus rasisme di AS memang sudah tidak diherankan lagi.

Bahkan, rasisme di negara sebesar AS masih menjadi momok utama. Seorang penulis, Barrett Holmes Pitner menjelaskan mengapa menurutnya rasisme Amerika itu unik.
"Saya telah melakukan perjalanan yang adil ke seluruh dunia, tetapi status quo rasis Amerika tetap unik dan sangat menekan. Rasisme Amerika sepenuhnya berbasis corak dan monolitik. Kebangsaan seseorang tidak penting," ujar Pitner.

Rasisme terhadap orang kulit hitam di Amerika sebagian besar tidak ada hubungannya dengan imigrasi atau kebangsaan. Tidak ada negara asal untuk Afrika-Amerika untuk terhubung dengan masalah ini.

Sebaliknya itu pada dasarnya adalah status quo dari keterasingan domestik, dehumanisasi, kriminalisasi, dan teror. Rasisme di Eropa memang buruk, tetapi masih lebih ramah daripada Amerika.

Rasisme sistemik Amerika dimulai dengan perbudakan dan berbagai kode atau undang-undang negara bagian atau federal yang mengodifikasi praktik perbudakan chattel yang tidak manusiawi menjadi hukum.

Amerika Selatan adalah "masyarakat budak", bukan hanya masyarakat dengan budak. Namun, setelah penghapusan perbudakan, hukum yang mirip dengan kode budak terus menindas orang kulit hitam.

Setelah Perang Saudara, "kode hitam" ini memiliki tujuan eksplisit untuk merampas hak orang Amerika kulit hitam yang baru dibebaskan, yang telah mereka menangkan.

Kode hitam bervariasi dari satu negara ke negara lain, tetapi dasar hukum mereka berpusat pada undang-undang gelandangan yang memungkinkan seorang Afrika-Amerika ditangkap jika ia menganggur atau kehilangan tempat tinggal.

Mereka berlaku untuk orang kulit hitam yang tak terhitung jumlahnya karena kesempatan perumahan dan pekerjaan untuk orang kulit hitam yang dibebaskan di Selatan hampir tidak ada setelah perang.

Para pendukung Virginia's Vagrancy Act of 1866, salah satu dari langkah-langkah ini, menyatakan bahwa mereka akan mengembalikan "perbudakan dalam semua hal kecuali namanya".

Orang Kulit Putih Selatan akan melaporkan orang kulit hitam karena gelandangan, dan penegak hukum akan menangkap mereka dan menghukum orang Afrika-Amerika hingga tiga bulan kerja paksa di tanah publik atau pribadi.(https://liputan6.com/amp/4266261/rasisme-di-as-lebih-parah-dari-negara-lain-apa-sebabnya).

Dan bukan Donald Trump namanya jika tak membuat kegaduhan. Di tengah aksi unjuk rasa masal ini ia malah berkicau di Twitter yang menyatakan bahwa manakakala penjarahan dimulai maka penembakan juga dimulai.

Artinya Trump alih-alih mencari titik masalah namun malah memerintahkan aparat menembak mereka yang berunjuk rasa saat sudah mulai mengarah kepada anarkisme.

Trump juga menuding organisasi Antifa (Anti Fasisme) dan Radikal Kiri sebagai biang kerusuhan yang mendompleng aksi unjuk rasa masal tersebut. (https://www.bbc.com/indonesia/dunia-52872569)



Sejarah Rasisme AS


Amerika Serikat memiliki sejarah kelam mengenai rasime warna kulit. Dan pemain utama dalam diskriminasi ras itu adalah kelompok Ku Klux Klan yang dicetuskan pada tahun 1863 oleh 6 pemuda mantan anggota konfederasi di kota kecil Pulaski, Tennessee.

Awalnya genk ini hanya beranggotakan para pemabuk yang suka menebar hura-hura. Dan para anggotanya memiliki julukan-julukan konyol seperti Grand Cyclops, Grand Magi, Grand Turk, dan Grand Scribe dan mereka menamai komplotannya sebagai “Setan Kubur”.

Kelompok ini memilih nama Kuklos dari bahasa Yunani yang berarti lingkaran. Dan mereka memplesetkannya hingga menjadi Ku Klux Klan karena dianggap sangar dan memang menyeramkan di seluruh Amerika Serikat.

Kebencian kelompok rasis yang dianggap sebagai jelmaan Neo Nazi itu bermula dari dendam kesumat ras kulit putih di negara-negara bagian wilayah selatan AS dan kaum Konfederasi terhadap ras kulit hitam pasca perang sipil.

Saat itu orang-orang kulit hitam dibantai Ku Klux Klan karena iri terhadap kemenangan ras kulit hitam yang telah bebas dari jerat perbudakan.

Pada masa kejayaannya, Ku Klux Klan berhasil menggaet 3 juta anggota. Superioritas kaum kulit putih yang memperbudak kulit hitam di masa lalu nampaknya masih sulit dihilangkan bahkan hingga saat ini.

Dulu sebelum perbudakan dihapus, sekelompok centeng selalu berpatroli di area perkebunan para juragan dari kaum kulit putih. Yang bertujuan mencegah terjadinya pemberontakan para budak kulit hitam.

Para centeng tak segan mencambuk bahkan membunuh para budak yang ditangkap sedang melanggar jam malam.

Dan setelah perbudakan berhasil dihapus maka para kaum kulit putih lah yang paling merugi karena kehilangan sumber-sumber kekayaan yang selama ini mereka nikmati.

Dan ini tentu menimbulkan kesumat di dalam hati mereka dan bermuara dengan terbentuknya Ku Klux Klan.

Perlu diingat bahwa Presiden AS yang getol memperjuangkan penghapusan perbudakan, Abraham Lincoln, akhirnya juga tewas dibunuh.

Dan salah satu alasan terkuat dari motif pembunuhan itu adalah karena upayanya menghapus perbudakan yang tidak disukai sebagian pihak dan konon juga karena dia tidak ikut bergabung menjadi anggota Freemason seperti yang dilakukan hampir sebagian besar Presiden pendahulunya.

Selain Ku Klux Klan, yang menjadi “pembasmi” kaum kulit hitam juga berasal dari kalangan Legislatif negara-negara bagian di selatan Amerika.

Mereka membuat undang-undang diskriminatif yang mereka namai Black Codes yang memberangus kemerdekaan kaum kulit hitam dan berambisi memperbudak mereka selamanya.

Inilah gaya Neo Nazi, watak sama bengis dan merasa ras mereka superior hingga mampu memperbudak manusia lain yang kebetulan dilahirkan berbeda ras dan warna kulit.

Sebenarnya pernah ada tokoh-tokoh yang vokal menyuarakan agar rasisme itu dihentikan. Pada  medio 60 an muncul Martin Luther King Jr. dengan semboyannya, “I Have A Dream” itu.

Dan dari tokoh Islam ada Malcolm X. Mereka berdua muncul di masa Ku Klux Klan generasi III memuncak pada tahun 50-60 an.

Dua tokoh yang selalu menyuarakan persamaan hak dan anti rasisme itu tewas dengan cara yang sama, ditembak.

Martin Luther King tewas pada 4 April 1968 dan Malcolm X tewas didor saat akan berceramah pada 21 Februari 1965.


Paradoks Negara Adidaya


Paradoks AS sebagai negara yang konon menjadikan HAM sebagai akidah utamanya makin kentara jika kita melihat hasil penelitian yang menyatakan remaja kulit hitam lebih sering ditangkap dan dipenjara dibandingkan remaja kulit putih untuk kejahatan yang sama.

Asosiasi Persamaan Hak Sipil Amerika (ACLU) mengungkapkan, orang kulit hitam empat kali lebih mungkin ditahan karena kepemilikan mariyuana dibandingkan dengan orang kulit putih.

Padahal berdasarkan Survei, orang kulit hitam yang menggunakan mariyuana lebih sedikit dibandingkan orang kulit putih.

Di Ferguson, negara bagian Missouri, jumlah orang hitam yang dicari, dipinggirkan, dan dibui ternyata jauh lebih banyak daripada presentase jumlah penduduk total kota itu.

Badan Statistik AS merilis jumlah populasi orang kulit hitam di negara itu hanya 13 persen dari keseluruhan jumlah penduduk.

Dan pada tahun 2010, 28 persen tersangka kriminal yang ditahan adalah orang kulit hitam. Sebanyak 42 persen yang dihukum mati pada 2012 adalah kulit hitam.

Dan sebanyak 32 persen orang yang terbunuh pada 2003-2009 dalam penangkapan pun adalah orang kulit hitam.

Hasil penelitian lain juga makin mencengangkan. Universitas Princeton meneliti ribuan pengusah di AS yang mencari pegawai.

Hasilnya ditemukan bahwa warga kulit putih yang diyakini pernah melakukan kejahatan masih tetap sama diinginkannya dengan warga kulit hitam yang memiliki latar belakang bersih tanpa pernah terlibat aksi kriminal.

Kondisi di luar nalar sehat itu hanyalah pengulangan sejarah saja. Karena pada abad ke 17 saat perbudakan masih marak, di Philadelphia polisi diberi hak untuk menghentikan dan menangkap pria kulit hitam yang keluyuran di jalanan.

Meski lebih banyak warga kulit putih yang bertindak kriminal namun yang ditahan lebih banyak yang berkulit hitam. (https://musyafucino.wordpress.com/2014/12/13/r-as-isme/).


Islam Anti Rasisme


Sahabat Saad Bin Muadz Ra. adalah salah satu sahabat nabi yang berkulit hitam dan bahkan disebut kulitnya lebih legam daripada sahabat Bilal Bin Rabah sang Muadzin kebanggaan Islam itu.

Kematian Sahabat berkulit hitam ini -menurut Sabda Rasulullah Saw- mampu menggoyang Arasy Allah dan membuat malaikat di langit dan bumi menangis.

Kesyahidannya memang mengharukan para sahabat yang laen. Karena hari kesyahidannya adalah hari dimana dia sedang mempersiapkan mahar perkawinannya.

Namun uangnya malah dia belanjakan membeli peralatan perang ketika mendengar seruan Jihad dari Rasulullah Saw.

Saad sebenarnya hendak melangsungkan pernikahan sebelum kematian menjemputnya. Beliau berkali-kali ditolak wanita Madinah karena tak sudi dengan kulitnya yang hitam. Hingga beliau nelangsa dan berkata kepada Nabi Muhammad Saw, ”Apakah hinanya aku ini karena hitamnya kulitku sehingga pinanganku ditolak berkali-kali.”

Lalu Nabi menjawab, ”Jangan bimbang Saad, engkau adalah orang yang aku jamin."
Lalu Rasulullah Saw pun mengutus para sahabat guna mencarikan wanita tercantik di kota Madinah untuk dinikahkan dengan Saad Bin Muadz.

Awalnya pinangan itu juga ditolak oleh ayah si wanita cantik karena Saad sangat hitam sedangkan putrinya sangat cantik.

Namun begitu tahu jika Saad dijamin oleh Rasulullah Saw maka seketika itu ayah si gadis menerimanya, Sami’na Wa Atho’na.

Orang berkulit hitam pun dijamin dan dilindungi oleh Nabi Muhammad Saw. Bahkan banyak sahabat berkulit hitam yang menduduki posisi terhormat di dalam Islam.

Islam tak pernah ada masalah dengan rasisme, inilah yang membuat Cassius Clay Jr akhirnya memeluk Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Ali.

Sang maestro tinju itu yang awalnya garang mendadak lembut hatinya pasca kembali dari ibadah haji.

Saat ditanya perihal perilakunya yang berubah drastis itu, dia menjelaskan bahwa itu terjadi setelah Ali menjumpai jutaan manusia menjadi satu dalam ibadah haji.

Ada yang kulitnya merah, kuning dan bermata sipit, ada yang sawo matang, ada yang berkulit putih juga ada yang berkulit hitam. Semua menjadi satu tak ada perbedaan dan menuju Tuhan yang satu.

Dia juga terkesan saat menyantap hidangan dengan beberapa jamaah lain ras dan bangsa dalam satu nampan tanpa ada sekat Rasisme. Itulah indahnya Islam yang merubahnya.

Islam telah selesai dengan dengan masalah rasisme. Dalam Islam tak ada istilah masjid untuk orang kulit hitam ataupun untuk orang kulit putih seperti yang terjadi dalam agama tertentu di Barat dimana ada dikotomisasi tempat ibadah bagi masing-masing warna kulit.

Di dalam Al Quran Allah Swt menyatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah. “[al-Hujurat:13].

Dan konsekuensi logis dari perbedaan suku dan bangsa itu adalah munculnya bermacam-macam bahasa, adat, budaya, dan juga warna kulit.

Yang membedakan di sisi Tuhan hanyalah tingkat ketakwaan saja tanpa ada kaitannya dengan rasisme warna kulit.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada Abu Dzar Al Ghifari Ra,

 ﺍﻧْﻈُﺮْ ﻓَﺈِﻧَّﻚَ ﻟَﻴْﺲَ ﺑِﺨَﻴْﺮٍ ﻣِﻦْ ﺃَﺣْﻤَﺮَ ﻭَﻻَ ﺃَﺳْﻮَﺩَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻥْ ﺗَﻔْﻀُﻠَﻪُ ﺑِﺘَﻘْﻮَﻯ

“Lihatlah, engkau tidaklah akan baik dari orang yang berkulit merah atau berkulit hitam sampai engkau mengungguli mereka dengan takwa.” (HR. Ahmad).

Maklumat Al Qur'an dan Hadis tersebut jelas menyatakan tiada diskriminasi dalam Islam. Islam mampu membentuk pola pikir modern bagi umatnya bahkan sejak 14 abad silam dimana tidak dibenarkan membeda-bedakan manusia hanya karena perbedaan ras (termasuk warna kulit).

Semua manusia sama, sederajat dan diberi HAM yang setara oleh Ilahi tanpa bisa diganggu gugat. Hal yang nyatanya tidak didapati di Amerika hari ini.

Kini dunia sedang mengikuti berita “kemunduran” pola pikir manusia modern yang sedang terjadi di AS.

Sang pendaku negara demokrasi nomor wahid dan penegak HAM yang nyatanya hanya bualan yang berlaku di dalam pidato-pidato saja.

Lalu masih layakkah bangsa rasis itu menjadi kiblat negara Muslim terbesar di dunia seperti Indonesia ? (Senyapena)

BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama