Islam; Jejak Samar Dalam Sejarah Pendidikan Nasional (Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2020) Oleh : Muhammad Syafii Kudo* |
Hari ini bangsa Indonesia memperingati hari Pendidikan Nasional. Membincang mengenai pendidikan di Indonesia, tentu siapapun yang pernah makan bangku sekolah tidak akan asing dengan nama Ki Hadjar Dewantara yang merupakan nama alias untuk Raden Mas Soewardi Soerjaningrat sejak 1922.
Beliau lahir pada tanggal 02 Mei tahun 1889, dan tanggal kelahirannya tersebut ditetapkan menjadi Hari Pendidikan Nasional, yakni pada 2 Mei berdasar Keputusan Presiden Nomor 316 tahun 1959.
Lantas mengapa tanggal kelahiran tersebut ditetapkan sebagai hari Pendidikan Nasional. Merujuk harian Kompas edisi 2 Mei 1968, penetapan tersebut merupakan bentuk penghargaan Pemerintah atas jasa Ki Hadjar Dewantara yang telah memelopori sistem pendidikan nasional berbasis kepribadian dan kebudayaan nasional.
Menteri Pengajaran Indonesia pertama itu terkenal dikenal sebagai aktivis anti kolonialisme yang berjuang lewat jalur jurnalisme dan pendidikan dengan mendirikan lembaga pendidikan pada tanggal 3 Juli 1922 yang bernama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa.
Semboyan Tut Wuri Handayani dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Dan bahkan menjadi logo Kementrian Pendidikan Nasional.
Semboyan dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani tersebut jika diartikan adalah "di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan".
Penulis tak hendak membahas lebih dalam mengenai sosok Ki Hajar Dewantara tersebut. Penulis hanya ingin mengulik sedikit hal yang masih berkaitan dengan sejarah Pendidikan Nasional. Yakni masalah peminggiran peran Islam atau tokohnya dalam sejarah resmi republik ini.
Pada hari Ahad pagi, 30 Juni 2019, di Masjid Ar Riyadh Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, ada sebuah kajian tematik dengan judul Peran Pendidikan Sejarah Bagi Pembentukan Karakter Anak.
Pematerinya adalah Dr. Adian Husaini M.Si, sebuah nama yang tentunya sudah tidak asing bagi para pengkaji pendidikan Islam ataupun masalah Oksidentalisme dan peradaban sekuler Barat.
Di awal kajian, beliau sudah membuat sebuah analogi yang menarik mengenai sejarah dan korelasinya dengan kehidupan hari ini.
Beliau mengibaratkan posisi sejarah bagi sebuah bangsa bagaikan kaca spion pada kendaraan. Fungsi spion adalah untuk membantu mengamankan kita saat berkendara agar terhindar dari kecelakaan.
Spion membantu kita untuk mengetahui jikalau ada kendaraan lain di belakang kita. Lewat penggambaran nyata kaca spion itulah kita bisa mengambil sikap dan mengamankan kendaraan saat kita bermanuver di jalanan.
Demikian pula sejarah, setiap bangsa di dunia pasti dituntun oleh sejarahnya di masa lalu. Sejarah adalah penuntun arah bagi kemudi sebuah bangsa di masa setelahnya. Agar terhindar dari “kecelakaan” bagi keberlangsungan hidup bangsanya di masa depan.
Menurut Dr. Adian Husaini, orang yang tidak tahu sejarah masa lalunya maka dia tidak akan tahu tujuan hidupnya. Kaidah itu tentu berlaku pula dalam lingkup yang lebih luas, yakni bangsa.
Dr. Adian Husaini menyitir pendapat dari Muhammad Asad (Leopold Weisz) dalam bukunya Islam At The Cross Road, Peradaban sebuah bangsa akan hilang akibat dua hal.
Yang pertama adalah ketika sebuah bangsa hilang kebanggaan akan identitas bangsanya. Dan yang kedua adalah manakala mereka putus dari sejarah masa lalunya.
Demikian penting sejarah masa lalu dan kebanggaan akan masa lalu tersebut. Sebab hal itu merupakan titik awal dari kehidupan sebuah bangsa. Karena tidak ada bangsa manapun yang bisa lepas dari hitam putih masa lalunya.
Khusus mengenai hari Pendidikan Nasional tiap 2 Mei, Dr. Adian Husaini melempar sebuah pertanyaan yang menarik. Mengapa harus tanggal lahir Ki Hajar Dewantara yang dijadikan acuan.
Jika karena sumbangsih kiprahnya dalam memperjuangkan pendidikan pribumi, maka kiprah pesantren-pesantren lebih layak untuk dihargai oleh negara.
Mengapa bukan tanggal berdirinya pesantren tua seperti Sidogiri Pasuruan, misalnya. Yang sudah berdiri sejak tahun 1745. Bukankah pesantren adalah kawah candradimuka pendidikan pribumi yang sudah memerdekakan otak kaum pribumi dari penghambaan kepada selain Allah sejak ratusan tahun.
Dan karena kemerdekaan pikiran dari penghambaan kepada makhluk itulah bangsa ini berani melawan segala bentuk kolonialisme karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan.
Lantas dari manakah kaum pribumi mendapat pencerahan fikiran seperti itu untuk melawan kolonialisme kalau bukan dari pesantren.
Ada dua pendapat mengenai terbentuknya pesantren. Kelompok pertama menyebutkan bahwa pesantren merupakan inisiatif dari masyarakat Indonesia yang bersentuhan dengan budaya pra Islam.
Sistem pendidikan pesantren mirip dengan sistem pendidikan Hindu-Buddha, yakni dengan asrama. Tokoh yang yakin dengan pendapat ini adalah Th G Th Pigeaud, Zamarkhsary Dhofier, dan Nurcholis Madjid.
Kelompok kedua menyebut, pesantren merupakan adopsi dari lembaga pendidikan Islam Timur Tengah. Martin Van Bruinessen lebih percaya dengan sejarah pesantren adalah hasil adopsi. Menurut Bruinessen, pesantren muncul sejak abad ke-18, bukan seiring dengan keberadaan Islam di Indonesia. (https://republika.co.id/berita/puqd6x458/tiga-pesantren-tertua-di-tanah-air).
Pendapat Bruinessen yang menyatakan bahwa pesantren baru muncul sejak abad 18 terbantahkan melalui fakta bahwa ada pesantren yang sudah muncul bahkan sejak abad ke 15.
Yakni Ampel Denta dan Giri Kedaton yang kini atsarnya masih berdiri kokoh yakni Masjid Ampel Surabaya dan Giri Kedaton Gresik.
Meskipun di Masjid Ampel kini sudah tidak ada lagi pesantren Raden Rahmad alias Sunan Ampel, namun bagaimanapun juga secara histortis dikabarkan bahwa dulu ada pondok pesantren di Ampel Denta yang menjadi ajang belajar agama Islam.
Adanya pondok pesantren ini tidak lepas dari adanya masjid yang didirikan oleh Raden Rahmad pada tahun 1421 M (berdasarkan prasasti yang dipasang oleh Pemkot Surabaya, dengan nomor registrasi: 1885.45/251/402.1.04/1996 tertanggal 26 September 1996).
Sementara berdasarkan prasasti Titi Mongso Masjid Ampel yang tertempel di dalam masjid, masjid Ampel didirikan pada tahun 1440 M.
Di tempat itulah, Raden Rahmad, secara kelembagaan, mengajarkan Islam melalui pondok pesantrennya. Di pesantren ini, Raden Rahmad kemudian mendidik para pemuda Islam untuk selanjutnya disebarkan ke seluruh pelosok pulau Jawa.
Diduga, model pondok pesantren di Ampel Denta ini serupa dengan pondok pesantren Sunan Giri di Gresik, dimana di dalam masjid itulah, kelembagaan pondok pesantren diadakan. Di dalam masjid itulah pengajaran Islam dilakukan.
Apa yang hendak penulis sampaikan dalam tulisan ini adalah bahwa ada sikap pengabaian terhadap peran besar pesantren atau sistem pendidikan Islam oleh negara ini yang entah disengaja atau tidak.
Yang mirisnya hal itu berlangsung sejak awal berdirinya Republik ini. Terbukti untuk pemilihan hari Pendidikan Nasional saja negara mengambilnya dari tokoh yang kiprahnya hadir belakangan dibandingkan dengan yang sudah ratusan tahun berkiprah lebih dahulu.
Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan kepada jasa Ki Hajar Dewantara bagi pendidikan tanah air, bangsa ini seyogyanya tidak pula melupakan sejarah masa lalunya.
Siapakah yang memerdekakan fikiran bangsa pribumi dari kolonialisasi fikiran dan Sospolek bangsa asing kalau bukan para Ulama lewat sistem pesantrennya.
Bangsa ini bisa mentas dari pemujaan kepada bebatuan dan menjadi insan beradab yang bisa baca tulis (pegon jawi) juga lewat Pesantren.
Meskipun akhirnya kebijakan politik etis Kolonial Belanda lewat jalur edukasi berhasil menghapuskan kejayaan pegon jawi di Nusantara dan memaksanya kembali ke rumah asalnya, yakni pesantren.
Maka sangat benar pendapat dari penulis buku Api Sejarah, Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara bahwa ada proses de-islamisasi dalam sejarah bangsa ini yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif.
Generasi hari ini hendak dijauhkan dari sejarah asli bangsanya lewat proses penceraian jejak Islam dengan sejarah Indonesia.
Bukti paling kentara adalah peminimalan sesuatu yang berbau Islam dan penggaungan secara masiv kebudayaan nasional namun Jawa-sentris oleh rezim Orba.
Lihat bagaimana candi-candi dan tokoh pewayangan dijadikan maskot nasional di berbagai lini kehidupan bangsa ini. Bahkan hingga bahasa simbolnya menggunakan bahasa Sansekerta yang tentu sangat Jawa Kuno sekali.
Hal ini tentu merupakan sesuatu yang paradoks dan ironis manakala diterapkan di sebuah bangsa Bhineka yang penuh dengan berbagai suku bangsa seperti Indonesia ini.
Padahal pesantren lah yang sejak dahulu mampu menjalankan peran pendidikan tanpa pandang suku bangsa dan golongan yang merupakan nilai asasi Islam sebagai agama untuk semua manusia.
Kebhinekaan berbagai ras manusia yang terikat dalam satu akidah adalah harmoni yang bisa kita saksikan di dalam pesantren hingga hari ini.
Wal hasil tulisan ini hanya ingin penulis sampaikan sebagai perenungan bersama, bahwa ada sesuatu yang diabaikan bangsa ini dari masa lalunya yang entah disengaja atau tidak.
Apa masa lalu tersebut, tidak lain adalah jejak Islam dalam perjalanan berdirinya negara ini. Dan jika generasi hari ini abai dengan hal ini maka dikhawatirkan syarat dari hilangnya peradaban sebuah bangsa seperti kata Muhammad Asad dalam bukunya Islam At The Cross Road tersebut akan terpenuhi.
Yakni, ketika sebuah bangsa hilang kebanggaan akan identitas bangsanya. Dan yang kedua adalah manakala mereka putus dari sejarah masa lalunya. Yang mana hal itu sedang menggejala saat ini. Wallahu A’lam Bis Showab. (Senyapena)
Dimuat di :
BACA JUGA
Kategori:
education day of indonesia
hardiknas
hari pendidikan nasional
islam and indonesia
kiprah pesantren
peran islam dalam sejarah pendidikan nasional
sejarah hari pendidikan nasional