Apakah Agama Masih Diperlukan ?
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Religions Of The World |
Judul di atas penulis ambil dari sub judul buku Prof. Dr. H.M. Rasjidi yang merupakan pasal pertama dari bukunya yang berjudul Empat Kuliah Agama Islam Pada Perguruan Tinggi.
Sengaja penulis kutip demi mengimbangi kegaduhan jagad diskusi dunia maya saat ini. Yakni tentang pernyataan Jerinx SID mengenai agama adalah sebuah teori konspirasi.
Pentolan band asal Bali tersebut menyatakan hal itu dalam sebuah wawancara daring dengan Kompas TV beberapa waktu lalu.
Saat itu presenter Aiman Witjaksono menanyakan tentang Covid 19, namun Jerinx malah mengungkapkan soal agama adalah teori konspirasi. Dia menyatakan bahwa agama adalah termasuk teori konspirasi karena tidak ada bukti sains yang mendukungnya.
Ketika presenter mengajak kembali membahas masalah Covid 19, Jerinx justru makin mempertegas agar kita makin memperluas mindset supaya orang-orang tidak langsung menyerang teori konspirasi sebagai angin lalu belaka.
Jerinx menyatakan agar masyarakat tidak melakukan standar ganda dengan menuduh orang yang percaya teori konspirasi adalah bodoh sedangkan di saat yang sama mereka masih sangat percaya dengan agama.
Sementara agama, menurutnya, tidak memiliki data faktual dan hanya berasal dari sumber "katanya ini katanya itu".
Secara tidak langsung pernyataan Jerinx itu seolah menyatakan bahwa orang yang masih percaya kepada agama adalah bodoh.
Dari pernyataan yang nampak jelas adanya perendahan kepada agama tersebut, ada satu tanya besar yang bisa kita gali. Apakah memang benar agama adalah sesuatu yang konspiratif dan tidak didukung data faktual. Dan masih relevankah agama bagi manusia terutama di zaman post modern ini.
Sebuah kilas balik
Dari sejarah filsafat Yunani kita dapat mengetahui bahwa semenjak 2300 tahun yang lalu sudah ada orang-orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan.
Mereka mengatakan bahwa alam ini terdiri dari atom-atom yang berlainan susunannya serta masing-masing mempunyai daya gerak membelok; maka dari bentrokan atom-atom tersebut terjadilah segala macam kejadian di alam ini.
Tetapi pada zaman modern ini telah terjadi hal-hal yang menjauhkan manusia dari agama secara lebih jauh lagi, lebih menonjol, dalam segi-segi penghidupan yang semua orang dapat melihatnya dengan nyata, baik dalam lingkungan kelompok maupun dalam lingkungan bangsa.
Kemajuan pengetahuan dalam abad 16 dan 17 telah mendorong beberapa ahli ilmu pengetahuan untuk menafsirkan keadaan alam dan kejadian-kejadian di dalamnya secara mekanis, dengan daya alam itu sendiri dan tidak memerlukan adanya Tuhan.
Karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia dapat menguasai alam secara lebih menyeluruh dan lebih efektif, sehingga segala perhatian manusia itu hanya diarahkan kepada alam tempat mereka hidup.
Di Inggris semenjak abad 16 ada aliran "empiricism" yang mengatakan bahwa segala sesuatu pengetahuan harus didasarkan kepada panca indra.
Thomas Hobbes (1588-1679) mengatakan bahwa dasar pemikiran ilmu pengetahuan adalah "mechanistic materialism", yakni bahwa yang ada dalam alam ini adalah materi dan cara bergabung dan berpisahnya adalah secara mekanis, tidak memerlukan adanya Zat yang Maha Kuasa, yang bukannya alam ini.
Perlu juga kita menyebut John Lock (1632-1704). Ia mengatakan bahwa fikiran manusia itu merupakan Tabula Rasa (papan tulls kosong). Dan segala pengetahuan yang mengisinya adalah berasal dari kesan-kesan yang diperoleh melalui panca indra (sense perception).
Ahli pikir Inggris yang ketiga yang perlu kita sebut adalah David Hume (1711-1776) yang fikirannya dianggap sebagai puncak penjelmaan "empiricism" masa sebelumnya serta mengandung dasar-dasar untuk aliran "positivistic naturalism" yang nanti akan kita bicarakan.
Pokok pemikiran David Hume adalah bahwa kita tidak berhak mengatakan sesuatu hal, jika hal tersebut tidak dapat dibuktikan dengan panca indra.
Ia mengatakan bahwa sesungguhnya tidak ada yang kita namakan sebab. Timbulnya kata sebab adalah karena kita secara berulang-ulang menyaksikan berlangsungnya sesuatu kejadian yang disusul oleh suatu kejadian lain.
Jika umpamanya kita selalu menyaksikan bahwa peristiwa A terjadi setelah terjadinya peristiwa B, maka kita mengambil kesimpulan bahwa peristiwa B adalah sebab dari peristiwa A.
Filsafat Perancis pada abad 18 banyak dipengaruhi oleh filsafat Inggris seperti tersebut di atas. Para ahli fikir Perancis cenderung untuk menganggap bahwa hasil ilmu pengetahuan itu mutlak, oleh karena sebelum ada ilmu pengetahuan modern manusia banyak berkecimpung dalam ilmu metafisika atau pemikiran-pemikiran abstrak yang bersifat dogmatis.
Perlu diakui bahwa banyak pemikir Perancis pada abad 18, seperti Fontenelle (1657 - 1757), Montesquieu (1689 - 1757), Voltaire (1694-1778), Condillac (1715-1780) lebih cenderung kepada "deism" dan bukannya "atheism".
"Deism" berarti percaya kepada Zat yang Maha Agung, tetapi yang tidak mempunyai kekuasaan terhadap alam dan manusia. Sedang "atheism" berarti mengingkari adanya Tuhan sama sekali.
Tetapi di antara filosof-filosof Perancis abad 18 terdapat nama-nama yang masyhur dengan pendirian atheis seperti La Mettrie (1709-1751), d'Holbach (1723-1789) dan Cabanis (1757 -1804).
Pendirian mereka pada umumnya adalah menentang dualisme yakni kepercayaan akan adanya badan dan nyawa begitu juga adanya alam di satu pihak dan Tuhan di lain pihak.
Gambaran ringkas di atas melukiskan keadaan-keadaan di Inggris dan Perancis sekitar abad-abad 17 dan 18, yang menjadi latar belakang pandangan sekuler Barat tentang manusia dan alam.
Kedaan-keadaan itu dapat disimpulkan dalam 3 unsur, yaitu:
a) Kepercayaan penuh kepada metode ilmu pengetahuan,
b) Kehilangan kepercayaan kepada agama (yang dimaksud adalah agama yang dikenal di Barat. yakni agama Kristen).
c) Serta makin bertambah meresapnya paham materialisrne yakni pendapat yang mengatakan bahwa yang ada hanyalah benda (materie), karena dapat disadari dengan panca indra, sedangkan jiwa tidak demikian.
Ketiga unsur ini yang pada abad 18 telah tersiar luas di Barat, mendorong timbulnya aliran positivisme di abad 19.
Penganjur dan pemimpin terbesar aliran positivisme pada abad 19 adalah ahli pikir Perancis yang bernama August Comte (1795-1857) yang patung marmernya didirikan di salah satu pintu Universitas Paris.
Perlu diingat bahwa karangannya yang berjudul "Cours de la Philosophie Positive" (Kuliah Filsafat Positif) yang ditulis dalam enam jilid telah diselesaikan pada tahun 1842, setahun sesudah buku "The Essence of Christianity" (Sari Agama Kristen), karangan Feuerbach, disiarkan.
Kedua buku tersebut, ditambah dengan filsafat Karl Marx mengenai "Historical Materialism'. filsafat Darwin (1809-1882) tentang evolusi, serta filsafat Huxley (1825-1895) dan Spencer (1820-1903), semua itu telah mempengaruhi perkembangan "positive naturalism" yang menjadi ciri khas bagi pertengahan kedua abad 19.
Yang pokok dalam filsafat August Comte adalah teorinya mengenai perkembangan cara berpikir manusia melalui 3 tingkatan yang ia namakan 'la loi des trois etats’, yang dapat kita jelaskan sebagai berikut:
Manusia telah mengalami 3 tingkatan perkembangan dalam cara berfikirnya :
a) Pada permulaan ia selalu berfikir secara ketuhanan. Keadaan itu dinamakan “etat theologique”, atau tingkatan teologi.
b) Kemudian ia meningkat kepada tingkatan kedua, yaitu "etat metaphisique" atau tingkatan metafisik.
c) Akhirnya manusia sampai kepada tingkatan tertinggi, yakni "etat positive" atau tingkatan positif.
Tingkatan Teologi
Dalam tingkatan yang terendah ini, yaitu tingkatan teologi, manusia belum mempunyai fikiran tentang sebab musabab kejadian-kejadian dalam alam ini.
Manusia khawatir kalau terjadi wabah penyakit menular, khawatir kalau ada gempa bumi, khawatir kalau terjadi banjir, takut kalau tanamannya habis diserang hama dari sebagainya.
Ia selalu hidup dalam ketakutan dan kekhawatiran. Ia tidak dapat berbuat apa-apa, karena tidak tahu apa yang harus diperbuat. Satu-satunya tindakan yang ia lakukan adalah mohon kepada Tuhan agar Tuhan menjauhkannya dari penyakit, menghindarkannya dari banjir dan gempa, dan melindungi tanamannya.
Pendeknya ia menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan yang Maha Kuasa, entah Tuhan itu merupakan arca, atau pohon besar atau kekuatan yang tak dapat dilihat, entah arwah nenek moyangnya, atau lain-lain benda.
Tingkatan Metafisik
Setelah lama, berabad-abad, dalam tingkatan teologi seperti tersebut di atas, akhirnya manusia menemukan keberanian dalam dirinya. Ia merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan penyakit atau banjir atau gempa bumi atau hama tanaman, semua itu dapat dicegah agar tidak berbuat jahat atau mengganggu; adapun caranya ialah dengan memberikan sajian-sajian.
Untuk mengambil contoh tentang hal-hal yang terjadi di negeri kita Indonesia, kiranya dapat saya sebutkan sebagai berikut :
l) Sampai sekarang terutama di kampung-kampung dan di desa-desa untuk seorang wanita hamil tujuh bulan biasa diadakan upacara "tingkeb", yakni mandi dengan air dari tujuh sumur. Maksudnya agar kandungannya selamat, jika nanti sudah tiba waktunya, akan lahir sebagai bayi yang sehat.
2) Setelah bayi lahir, maka di bawah (di kolong) amben (tempat tidurnya) ditaruh bermacam-macam sajian : ada lampu kecil dengan minyak kelapa dan seutas tali untuk sumbu, dinyalakan siang malam. Minyak kelapa itu ditaruh dalam mangkok kecil dari tanah. Di samping itu ditaruh sebilah pedang atau pisau mainan yang kedl dari bambu. Ada pula sebuah payung mini dari kertas dalam keadaan terbuka, karena memang tak dapat ditutup.
Ada lagi hasil bumi yang merupakan obat-obatan seperti dlingo dan bengle, ada pula sebutir ubi yang digambar dengan arang dan kapur sirih seperti kepala orang dengan mata yang terbuka lebar.
Semua diletakkan di kolong tempat tidur si anak dan ibu selama 5 minggu. Adapun maksudnya ialah untuk menjauhkan segala penyakit dan gangguan arwah jahat.
Jika ada penyakit hendak menyerang anak itu, si penyakit akan mundur kembali, karena sudah ada obat-obat berupa dlingo dan bengle yang menjaganya.
Jika ada ruh jahat yang hendak mengganggu iapun terpaksa membatalkan maksudnya, ketakutan melihat pedang (dari bambu) dan ‘kepala penjaga' yang seram yang menatapnya dengan mata melotot. Anak itu selalu terlindung dengan payung kecil dari hujan dan panas.
3) Setelah umur 35 hari maka diadakan selamatan "selapanan", berupa nasi tumpeng yang dibagi-bagikan kepada para tetangga.
Contoh lain tentang cara manusia berfikir pada tingkatan metaflsik, ialah kebiasaan yang dilakukan di Indonesia pada saat dimulai pembangunan sebuah gedung besar.
Sebelum pekerjaan dimulai lebih dahulu diadakan selamatan dan upacara penanaman kepala kerbau. Tujuannya ialah agar gedung yang akan dibangun itu akan senantiasa berdiri dengan kokoh dan sentausa.
Contoh lainnya lagi ialah yang kita lihat di desa-desa pada saat-saat sebelum penanaman padi. Agar tanaman padinya dapat terhindar dari bahaya hama dan pada musim panen nanti sawah-sawahnya memberikan hasil yang sebesar-besamya, maka para petani mengadakan selamatan nasi tumpeng untuk dipersembahkan kepada Dewi Sri, Ratu Padi, kadang-kadang disertai dengan pertunjukan wayang kulit.
Maksudnya semua itu adalah untuk memuaskan Dewi Sri sehingga berkenan melindungi dan membiarkan padi mereka itu tumbuh dengan segar dan subur sampai berbuah dan diambil hasilnya.
Tiga contoh tersebut di atas adalah contoh cara manusia berfikir dalam tingkatan metafisik, dengan tujuan mempengaruhi kekuatan gaib agar bersikap baik terhadap manusia.
Pengalaman menunjukkan bahwa kadang-kadang tanaman padi tersebut dapat hidup subur dan hasil panen yang memuaskkan.Tetapi sering terjadi pula bahwa tanaman padi itu rusak karena banjir atau diserang hama tikus atau belalang, sehingga petani menderita kerugian besar dan menghadapi bahaya kelaparan.
Kadang-kadang, meskipun sebuah gedung sudah diselamati dan diberi landasan kepala kerbau, 1 atau 2 tahun setelah selesai pembangunannya gedung itu mulai menunjukkan keretakan di sana sini, di dinding-dindingnya atau di lantainya hingga perlu diselidiki, siapakah yang suka makan semen, pemborong atau kepala kerbau yang telah ditanam.
Adapun bayi yang semenjak masih dalam kandungan ibunya telah dijaga dengan perhatian sebesar-besamya sampai lahir dan mencapai umur 35 hari, tidak jarang bayi tersebut gagaI menikmati umur panjang, karena terserang bermacam-macam penyakit anak kecil.
Tingkatan Positif
Sekarang marilah kita beralih ke tingkatan ketiga dan tertinggi, yaitu tingkatan positif. Dalam tingkatan positif, manusia telah mendapatkan pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam.
Jika pada tingkatan pertama, manusia selalu takut dan khawatir, dan dalam tingkatan kedua manusia berusaha mempengaruhi kekuatan-kekuatan alam, tetapi kadang-kadang berhasil dan kadang-kadang tidak, maka dalam tingkatan positif manusia telah banyak sekali memahami alam, tentang peraturan-peraturan atau hukum-hukumnya, sehingga akhimya kekuatan-kekuatan alam - meskipun belum seluruhnya- dapat ditundukkan dan dimanfaatkan untuk keperluan manusia.
Kita ambil contoh-contoh yang kita sebutkan dalam tingkatan metafisik. Pertama tentang ibu yang mengandung dan bayi yang dalam kandungan.
Dalam tingkatan positif manusia tidak memerlukan selamatan, tingkeban untuk si ibu, manusia tidak pula memerlukan sajian-sajian, lampu minyak kelapa, pisau bambu dan sebagainya.
Sekarang, seorang perempuan hamil pergi ke dokter ahli kandungan yang akan memeriksanya setiap bulan atau setiap dua minggu sekali dan memberi resep obat yang menjadikan ia dan kandungannya sehat.
Dokter dapat pula memberi ancer-ancer, kapan kira-kira ia akan melahirkan, sehingga ia dapat lebih dahulu memesan tempat di bagian bersalin dari rumah sakit kota itu.
Jika saat melahirkan sudah tiba, maka si ibu dijaga oleh dokter dan bidan-bidan dengan alat-alat yang serba cukup. Biasanya tidak ada kesukaran, dan si ibu dan si bayi diberi perawatan yang cukup, obat dan makanan yang sesuai.
Kita melihat bayi-bayi itu dibiarkan tidur sendiri dibiarkan menangis; bayi diberi susu ibunya pada waktu tertentu. Kita tidak melihat lampu minyak kelapa, tidak melihat payung-payungan, pisau-pisauan atau pedang-pedangan, atau kepala manusia yang dibuat dari ubi yang digambar. Semua itu tidak terdapat di rumah bersalin.
Namun demikian si ibu, si bapa dan keluarga mereka merasa tentram, tidak takut dan tidak khawatir. Setelah beberapa hari, ibu dan bayi pulang ke rumah dengan gembira. Pada waktu-waktu tertentu ia pergi ke dokter anak untuk memeriksakan keadaan kesehatan umum si bayi.
Alangkah bedanya gambaran manusia di tingkat metafisik dan manusia di lingkat positif.
Kedua mengenai pembangunan gedung yang harus didahului dengan penanaman kepala kerbau. Biarpun kepala kerbau yang ditanam itu dua, tiga atau berapa saja gedung itu akan lekas rusak, jika semennya tidak cukup, jika fondasinya tidak kuat.
Di negeri-negeri yang maju, di Eropa dan Amerika gedung-gedung pencakar langit sampai puluhan tingkat sudah merupakan pandangan biasa. Dalam pembangunan gedung-gedung itu tidak ditanam kepala kerbau lebih dahulu, tetapi gedung-gedung itu kuat dan tahan berpuluh-puluh tahun, bahkan beberapa generasi manusia.
Sekarang di Jakarta, khususnya di jalan Jendral Sudirman, sudah mulai didirikan gedung-gedung dari belasan tingkat dengan alat-alat dan bahan-bahan serba modern, tetapi kepala kerbau tak kunjung ketinggalan. Mudah-mudahan syarat kekuatan dan keamanan tidak dikendorkan sedikitpun.
Ketiga tentang tanaman padi, di Amerika Utara orang menanam padi atau gandum dengan menggunakan areal yang luasnya beribu-ribu hektar. Mereka tidak mempunyal tenaga manusia banyak, sehingga mereka harus memakai alat-alat mekanis modern.
Sebagai ganti cangkul mereka mempergunakan traktor. Mereka memakai kapal terbang kecil untuk menyebar benih, begitu juga untuk menyemprot anti hama yang sering mengancam tanaman mereka.
Pada waktu panen, agar hasil ladang yang beribu-ribu hektar luasnya itu dapat dipetik selekas mungkin, maka digunakan mesin-mesin khusus, yang sambil berjalan dapat sekaligus memetik dan menggiling.
Dengan teknik yang modern itu, maka hasil gandum dan padinya itu melimpah-limpah, jauh melebihi apa yang dibutuhkan oleh penduduk Amerika Utara sendiri. Sisanya diekspor, bahkan kadang-kadang diberikan kepada negara-negara yang ditimpa bencana kelaparan.
Orang-orang Amerika Utara itu tidak mengadakan selamatan untuk Dewi Sri. Tetapi karena pengetahuan mereka yang luas tentang pertanian dan meteorologi, maka mereka mempunyai kekayaan yang melimpah dari hasil pertanian.
Contoh-contoh tersebut kita tambah dengan sebuah contoh tentang penaklukan alam di Negara Bagian California, Amerika Serikat.
Sesungguhnya bagian Selatan dari daerah, yang sekarang dinamakan California itu dengan kota-kotanya yang masyhur seperti San Francisco dan Los Angeles dahulunya adalah suatu daerah yang kering dan tandus.
Sepanjang perbatasannya dengan Nevada di sebelah tenggara ada sungai Colorado yang letaknya lebih rendah daripada dataran kering itu. Maka dibangunlah pompa besar yang menyedot air sungai itu dan kemudian disalurkan ke seluruh daerah tandus tersebut.
Akibat dari pemompaan air sungai Colorado itu, maka California menjadi gudang buah-buahan seperti apel, jeruk, anggur, buah arbei, buah per, semangka dah lain-lain yang jumlahnya melebihi keperluan dalam negeri Amerika Serikat, sehingga dapat diekspor kemana-mana.
Pengikut-pengikut Marxisme akan mengatakan, bahwa hal itu membuktikan bahwa yang perlu bukan memberi interpretasi tentang alam, tetapi merobah alam itu sehingga dapat dimanfaatkan manusia.
Orang California juga tidak melakukan selamatan, yang dilakukan adalah penyelidikan ilmiah serta aplikasi penemuan-penemuan ilmiah itu dalam bidang kehidupan yang riil.
Dengan contoh-contoh tersebut di atas, sepintas lalu teori August Comte tentang tiga tingkatan itu terasa benar. Bukankah orang-orang sekarang telah sangat berbeda pendirian dengan orang yang dulu-dulu?
Orang sekarang tidak lagi berfikir memohon kepada Zat Yang Maha Kuasa, akan tetapi memanfaatkan ilmu pengetahuan yang didapatnya dan percaya kepada diri sendiri.
Bukankah dalam dunia modern sekarang segala lapangan kehidupan telah berobah lebih maju, lebih produktif dan lebih terjamin?
Dengan perkataan lain: Bukankah August Comte itu memang benar dalam membentuk teori tiga tingkatan itu ? Dan jika ia benar, maka ini berarti bahwa manusia memerlukan Tuhan hanya pada tingkatan pertama, yaitu tingkatan teologi.
Dalam tingkatan positif manusia tidak lagi memerlukan Tuhan, yakni sekarang ini pada zaman teknologi manusia cukup hidup dengan akalnya dan teknologinya, dan tidak memerlukan kepada Tuhan.
Marilah kita selidiki soal ini lebih lanjut!
Pada masa ini memang betul kita melihat rumah-rumah sakit penuh dengan penderita yang berkunjung agar mendapat pemeriksaan dokter serta obat. Akan tetapi masih banyak sekali penduduk kampung-kampung di kota Jakarta yang masih belum mau minta tolong kepada dokter.
Saya pernah mempunyai seorang pembantu rumah tangga wanita yang sering sakit gigi. Tetapi ia tidak mau pergi ke dokter gigi, malahan ia pergi ke dukun di kampung yang katanya mengobati giginya dengan mengusap pipinya dan mengeluarkan ulat-ulat kecil sebesar rambut.
Ia pulang merasa sudah sembuh. Tetapi beberapa hari sesudah itu penyakitnya kambuh lagi. Akhirnya ia mau minum aspirin dan karena sakitnya tidak seberapa, maka sembuhlah giginya.
Orang yang melahirkan anak dengan pertolongan dukun- dukun, pada saat ini masih banyak sekali lebih banyak, daripada mereka yang ditolong oleh bidan atau dokter.
Bahkan akhir-akhir ini terasa adanya gejala untuk menghidupkan kembali kepercayaan-kepercayaan yang aneh-aneh seperti apa yang belum lama ini terjadi di lembaga-lembaga negara seperti DPR kita.
Pada tanggal I Muharam, yang oleh suku Jawa dinamakan bulan Suro, di DPR telah diadakan sedekah bumi, yakni mempersembahkan buah-buahan seperti pisang dan kelapa, serta ayam hidup dan lain-lain hasil bumi kepada Ibu Pertiwi, dengan permohonan agar kita sekalian dibiarkan hidup tentram di atas bumi ini.
Perayaan itu disertai dengan iring-iringan yang membawa sebilah keris dengan segala hormat dan khidmat.
Bukankah keadaan-keadaan yang saya sebutkan di atas memberi gambaran bahwa pada tingkat positif sekarang ini masih banyak orang yang hidup dalam tingkatan teologi (menurut istilah August Comte) dan tingkatan metafisik.
Dalam zaman yang tidak menentu seperti sekarang ini, banyak orang bingung. Yang saya maksudkan dengan zaman yang tidak menentu itu adalah zaman dimana pelaksanaan hukum masih dapat dipengaruhi oleh hal-hal lain di luar hukum, dimana persamaan perorangan terhadap hukum tidak dilaksanakan semestinya.
Ada orang-orang yang terang-terang salah menurut hukum, tetapi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu mereka dibebaskan dari segala tuntutan.
Sebaliknya ada orang yang jujur, bekerja sebagai seorang warga negara yang taat dan cinta kepada negara. akan tetapi karena kejujurannya itu menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi oknum-oknum tertentu, maka ia dipersulit dan dimusuhi oleh oknum-uknum yang berkepentingan itu.
Akibatnya bagi orang awam, mereka tidak tahu apa yang harus mereka kerjakan. Dalam keadaan semacam itu banyak orang yang pergi ke dukun, ke kuburan-kuburan orang-orang besar dalam sejarah. Ada pula yang mencari jimat, penolak bahaya.
Jimat-jimat itu ada yang berupa kertas dengan tulisan huruf Arab atau huruf Cina, ada pula yang berupa sepotong kulit "macan" dan sebagainya.
Di antara orang-orang yang melakukan hal-hal sernacarn itu, banyak yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat, dan ini berarti bahwa itu terpelajar.
Bukankah tingkah-Iaku seperti tersebut di atas ini menunjukkan bahwa walaupun kita ini sudah sampai kepada tingkatan positif dan zaman teknologi, tetapi masih banyak orang-orang atasan yang hidup dalam tingkatan teologi dan metafisik?
Dengan begitu maka dapatlah kita mengambil kesimpulan :
A. Bahwa teori August Comte tentang tiga tingkatan itu tidak benar. Manusia tidak meningkat dari tingkatan teologi kemudian ke tingkatan metafisik dan sekarang dalam tingkatan tertinggi, tingkatan positif. Ketiga tingkatan itu tidak rnerupakan tingkatan evolusi. Dari bawah ke atas, akan tetapi rnerupakan macam-macam jenis mental manusia, sehingga kita sekarang di zaman modern dan di ibukota Negara Republik Indonesia ini dapat menyaksikan tingkatan teologi di samping tingkatan metafisik dan tingkatan positif. Ketiga-tiganya terdapat bersama sarna di beberapa tempat di Jakarta ini.
B. Bahwa di samping teori tiga tingkatan itu rnenunjukkan adanya 3 macam cara manusia berfikir sehingga tiga macam itu kita dapatkan sekarang bersama-sama, kita juga rnendapatkan kasus-kasus perorangan yang hidup dalarn dua atau tiga tingkatan sekaligus. Ada seorang professor di Universitas Indonesia atau pejabat tinggi di Departernen P & K, yang seharusnya ia hidup dalam tingkatan positif. Tetapi kita melihatnya pergi ke dukun, rnengikuti suatu aliran kebatinan. Kasus semacam ini tidak sedikit jumlahnya.
Kasus itu menunjukkan faham di samping fakta bahwa ketiga tingkatan itu sekarang ada secara berdampingan, maka terdapat pula orang-orang tertentu yang dapat hidup dalam 3 tingkatan itu sekaligus.
Dengan begitu maka teori August Comte tentang tiga tingkatan itu temyata tidak benar. Satu hal yang dapat kita terima dari August Comte yaitu bahwa pada waktu ini teknologi merupakan satu aspek yang penting sekali. Pembangunan Negara tidak dapat diselenggarakan tanpa teknologi.
Bidang Kesehatan, bidang Pertanian, bidang industri pembangun jalan lapangan terbang, Kereta api, perminyakan, pertambangan dan lain-lain sebagainya, semua itu tidak dapat ditingkatkan jika kita tidak mempergunakan teknologi.
Universitas Indonesia mempunyai bagian Teknik, Kedokteran, Pertanian, Kedokteran Gigi, Psikologi dan semuanya itu menunjukkan aspek kehidupan modern.
Akan tetapi apakah dengan kemajuan teknologi manusia tidak lagi memerlukan agama ?
Inilah yang dikesankan oleh ketiga tingkatan yang diciptakan oleh August Comte. Tetapi apakah begitu halnya ?
Contoh yang paling menonjol adalah Negara Russia. Communisme atau Marxisme Leninisme sangat mengagung-agungkan teknologi; sikap ini biasanya dinamakan scienticism. Dari semenjak masih kecil, anak-anak di Russia dididik untuk menghargai teknologi setinggi-tingginya.
Sikap resmi dari Pemerintah Russia adalah memberi kebebasan propaganda anti agama dan tidak memberi kebebasan propaganda untuk agama, selain beribadat di gereja-gereja dan satu dua masjid kuno.
Regime Communist sudah 60 tahun lamanya memerintah dan Pemerintah Russia selalu mengatakan dalam siaran-siaran tulisan dan Radio bahwa di Russia sudah tidak ada agama lagi dan dengan hilangnya agama maka hilanglah segala hambatan untuk kemajuan.
Kita sekarang berada daiam tahun 1974. Di Russia; agama, meskipun telah menjadi sasaran anti agama yang kuat dan terus menerus selama lebih dari 60 tahun, masih tetap mempunyai banyak pengikut, bahkan di beberapa tempat jumlah mereka mengalami pertambahan.
Di Uzbekisten yang dahulu merupakan daerah Islam yang penting dan dimana terdapat kuburan Imam Bukhari, yang mengumpulkan hadis Nabi dan kumpulan itu sekarang dinamakan Sahih ul Bukhari: (hadith-hadith sahih kumpulan Bukhari), di daerah tersebut sekarang Islam mulai lagi berkembang.
Anak-anak muda bertanya-tanya: aku ini dari keturunan Islam, apakah Islam itu? Kepada pengajar-pengajar yang datang dari negara-negara Islam, mereka menyampaikan hasrat hatinya untuk mempelajari agama Islam.
Di Moskow sendiri, gereja-gereja masih juga didatangi orang banyak yang tua-tua tetapi yang muda-muda juga ada., Jika di Russia, di mana Pemerintahnya memerangi agama dengan segala cara, masih juga tetap ada agama, maka di tempat-tempat lain di negara-negara di Eropa, di mana tidak ada usaha untuk mempersulit perkembangan agama, agama masih merupakan aspek yang penting bagi penghidupan manusia.
Tetapi di samping gejala bahwa agama tetap ada dalam tingkatan positif, ada gejala lain yang sepintas lalu kelihatan meragukan. Di Eropa, khususnya di Eropa Utara seperti Swedia, Norwegia, pada waktu ini terdapat gejala: Dechristianisasi, artinya proses meninggalkan agama Kristen.
Agama Kristen di Eropa Utara begitu lemah pengaruhnya terhadap masyarakat, sehingga walaupun Pemerintah membiayai gereja-gereja dan menggaji pendeta-pendeta, tetapi gereja itu kosong.
Banyak pendeta-pendeta yang ingin mempopulerkan kehadiran ke gereja, dengan mengadakan daya penarik seperti dansa, minum-minum dan sebagainya.
Usaha tersebut pada permulaannya agak menunjukkan sukses tetapi kemudian ternyata mengandung bahaya yang lebih besar, yaitu profanisasi atau menghilangkan rasa keagamaan dalam upacara upacara di gereja.
Gejala tersebut sepintas lalu kelihatan seakan-akan menguatkan teori August Comte, bahwa agama tidak diperlukan lagi pada tingkatan positip dimana orang cukup berpedoman kepada ilmu pengetahuan. Tetapi gejala-gejala di Eropa tersebut sesungguhnya mempunyai latar belakang lain.
Adapun keterangannya adalah sebagai berikut :
Semenjak permulaan abad 18 orang di Barat, di Eropa sudah mulai mencemoohkan agama Kristen, Voltaire (1694-1778) seorang penulis Perancis adalah di antara orang-orang yang termasyhur dalam hal ini.
Tulisan-tulisannya menentang bermacam-macam hal yang ada hubungannya dengan agama Kristen. Sebagaimana kita semua mengetahui agama Kristen dibawa oleh Jesus Kristus atau dalam kata arabnya lsa al Masih artinya Isa yang diusap dengan minyak kasturi.
Orang yang diusap dengan minyak kasturi oleh pengikut-pengikutnya adalah orang yang dianggap Pemimpin atau Raja. Agama Kristen sesungguhnya merupakan reformasi dari agama Yahudi. Oleh karena itu yang dinamakan Kitab sucinya orang Kristen yakni Bibel terdiri dari Perjanjian Lama (Old Testament) yakni kitabnya orang Yahudi, dan Perjanjian Baru, yakni yang khusus kitab sucinya orang Kristen.
Perbandingan antara tebal kedua buku tersebut kira-kira 3 : 1. Jadi kalau seseorang ingin mempelajari agama Kristen ia harus mempelajari agama Yahudi dahulu, yakni ia harus membaca Perjanjian Lama. Perjanjian Baru tidak dapat berdiri sendiri.
Dalam Perjanjian Lama disebutkan bahwa orang Yahudi adalah orang yang terpilih oleh Tuhan. Dalam Al Qur'an juga dikatakan begitu, tetapi yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi pada zaman Nabi Ishak, Yakub dan anak-anaknya. Kemudian mereka selalu lupa kepada ajaran-ajaran Tuhan.
Voltaire mengira bahwa disebutnya umat Yahudi sebagai umat yang terpilih itu adalah constatasi yang masih berlaku sampai sekarang. Maka ia mengatakan anggapan itu bohong belaka.
Orang Yahudi adalah orang-orang biasa jika berkuasa, bersikap kejam dan jika sedang hina meringik-ringik minta belas kasihan. Voltaire mengatakan bahwa isi dari Bibel banyak yang saling bertentangan satu dengan lainnya.
Ia membuktikan dengan contoh: Nabi Musa menceritakan tentang dirinya dengan kata-kata Dia. Kalau betul ia yang berceritera mustinya ia memakai kata-kata Aku.
Contoh lain: Nabi Musa mengatakan ia menulis dari seberang sungai Jordan. Padahal dalam sejarah tidak pernah Nabi Musa menyeberangi sungai Jordan.
Contoh ketiga: Nabi Musa menceriterakan riwayat meninggalnya. Ini adalah satu hal yang sangat ajaib, karena orang yang mati tidak sadar akan peristiwa kematiannya.
Mengenai Perjanjian Baru, diantaranya Voltaire menyebutkan masalah-masalah Trinitas. Soal Trinitas tidak pernah diterangkan dalam Perjanjian Lama dan disebutkan dalam Perjanjian Baru yang diterjemahkan dari bahasa Greek kepada bahasa Latin oleh Jerome (342-420) yakni berabad-abad sesudah Nabi lsa wafat.
Sesungguhnya sebelum menyerang akidah agama Nasrani, Voltaire sebagai seorang Perancis menyerang Gereja Katolik. Ia mengatakan: Tidak benar bahwa Geraja Katolik itu penjelmaan dari ajaran Bibel.
Bibel mengajarkan orang supaya hidup dengan tidak memikirkan hari besok, dengan memberikan segala kekayaannya, akan tetapi Gereja menimbun kekayaan.
Pengaruh dari tulisan Voltaire itu makin lama makin terasa, sehingga akhirnya orang tidak suka kepada agama Kristen, banyak gereja yang kosong.
Dengan mengesampingkan agama, serta menempatkan akal fikiran manusia sebagai suatu ukuran yang mutlak, maka terjadilah krisis bermacam-macam di benua barat.
Tentang sex, tidak ada lagi pedoman, segala sesuatu berobah, yang dahulu dilarang dan dirasakan bertentangan dengan moral, sekarang dianggap wajar dan semua orang melakukan.
Begitu juga minum minuman keras, judi dengan segala macamnya, dianggap oleh mereka sebagai suatu hal yang wajar. Keadaan yang semacam itu menyebabkan orang berfikir bahwa tujuan hidup manusia ini mencari uang dan kesenangan dengan segala jalan.
Akibatnya masyarakat menjadi suatu masyarakat yang penuh dengan pertentangan antara golongan dan golongan, dan antara perorangan.
Orang di Barat mulai mencari kembali suatu pegangan untuk hidup mereka. Ada yang menjadi biku Buddha, ada yang memuja-muja seorang muda dari India yang mereka anggap keramat dan sebagainya.
Segala macam gejala-gejala itu menunjukkan bahwa manusia, sesudah mencapai segala kebutuhannya dalam hidup, masih merasakan suatu hajat yang penting yang harus dipenuhi, yaitu tujuan hidup dan pegangan untuk hidup.
Tujuan dan pegangan hidup yang dicari itu sesungguhnya adalah agama, yang akan memberi petunjuk kepada manusia, apakah yang harus ia usahakan untuk memperolehnya dan bagaimana cara untuk memperolehnya.
Fikiran manusia dapat memberikan pemecahan soal-soal hidup yang bersifat materiil. Tetapi manusia tidak hanya memerlukan segi materiil, segi spirituil tidak kurang pentingnya, dari segi materiil, malahan bagi orang yang sampai tingkat yang lebih sempurna, segi spirituil malah lebih penting dari segi materiil.
Keringkasan dari kuliah ini : Terhadap soal "Apakah agama masih diperlukan", kita memberi jawaban "bahwa agama tetap diperlukan".
Bahkan lebih jauh manusia mencapai kemajuan, lebih terasa perlunya agama. Dengan tanpa agama, segala kemajuan manusia baik dari segi fikiran atau segi teknologi, bukannya akan memberi kebahagiaan kepada manusia, akan tetapi malah akan membinasakan manusia.1
Penjelasan Prof. Dr. Rasjidi di atas nampaknya cukup gamblang dalam menjelaskan sejarah munculnya orang-orang yang menganggap agama sebagai hal yang rendah atau kurang penting.
Dan siapa saja tokoh pemantik pemahaman hal tersebut beserta isi pemikiran mereka yang kini dijadikan acuan manusia modern – post modern.
Namun untuk menjawab kegandrungan Jerinx pada teori konspirasi maka bolehlah kita kutipkan pula salah satu poin dari 24 poin Protokol Zionisme, sebuah protokol yang sangat dikenal di “dunia” konspirasi.
Dalam Protokol Zionis nomor 14 disebutkan, "Ketika kita sudah menguasai dunia, kita tidak akan membolehkan adanya satu agama pun kecuali agama kita. Oleh karenanya, kita wajib menggoyahkan sendi-sendi keimanan dan hasil sementara usaha kita ini adalah munculnya kaum atheis."
Dan salah satu hasil nyata dari protokol nomor 14 itu adalah munculnya tokoh-tokoh yang alergi atau antipati kepada sakralitas agama. Yakni tokoh yang meski dalam KTP nya memeluk agama tertentu namun otaknya selayak otak kaum atheis.
Hal ini bisa dilihat dari opini serta pernyataan-pernyataan mereka yang selalu merendahkan Tuhan serta tidak mengakui sakralitas agama.
Henry Makow Ph.d, seorang penulis kenamaan mengenai konspirasi, Illuminati, Fremason dan New World Order yang buku-bukunya banyak menjadi rujukan para penyuka teori konspirasi ketika ditanya bagaimana cara memerangi tatanan Dunia Baru (New World Order), dia menjawab, “Tidak akan ada yang lebih mengganggu Illuminati daripada kebangkitan orang-orang yang percaya kepada Tuhan.”
Dia juga menyatakan, “Jika tujuan dari Illuminati adalah untuk menghilangkan Tuhan, maka kita harus menjadikan Tuhan sebagai pusat kesadaran kita.”
Lalu ada orang yang bertanya kepadanya, “Apa yang harus kita lakukan?”
“Jangan cari arahan dari yang lain, carilah arahan dari Tuhan,” jawab Henry Makow.
Jawaban pakar teori konspirasi itu adalah tamparan keras bagi kelompok yang menganggap bahwa orang yang masih berpegang teguh kepada agama adalah orang bodoh.
Sebaliknya, malah mereka sendiri lah yang tanpa sadar berada di dalam kebodohan karena sudah menjadi korban dari “permainan” kaum Zionis yang memang bertujuan menghapus agama-agama selain “agama” mereka sendiri demi kepentingan kelompok mereka dalam menguasai dunia.
Indonesia Adalah Negara (ber) Agama
Komisioner Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIB) Prof. Mahfud MD mengatakan Indonesia bukanlah negara agama dan juga bukan negara sekuler, tetapi religious nation state atau negara kebangsaan yang berketuhanan.
Mahfud menyebutkan Indonesia bukan negara agama sebab negara agama hanya memberlakukan hukum satu agama dalam hukum negara.
Bukan pula negara sekuler karena karena negara sekuler memisahkan sepenuhnya urusan negara dengan urusan agama.
“Indonesia bukan negara agama bukan pula negara sekuler, tetapi bangsa berketuhanan,” jelasnya.
Mahfud mengatakan bahwa keimanan pada tuhan dilembagakan dalam bentuk agama-agama.
Agama disini mengatur tata kehidupan manusia yang juga dpaat berbentuk hukum-hukum.
Indonesia sebagai religious nation state tidak memberlakukan hukum agama tertentu, bukan juga hukum Islam sebagai agama mayoritas yang dianut masyarakatnya.2
Maka dengan mengatakan mayoritas rakyat Indonesia yang masih memegang agama melakukan standar ganda manakala tidak percaya kepada teori konspirasi adalah hal yang berlebihan dan merendahkan bangsa ini.
Apalagi mengatakan agama adalah termasuk teori konspirasi sebab tidak sesuai sains dan tak didukung data faktual adalah sebuah kebodohan tersendiri.
(Agama) Islam Dan Sains
Untuk membuka pembahasan ini ada baiknya kita kupas makna sains terlebih dahulu berdasar pendapat para pakar.
Menurut Jujun S. Suriasumantri, penerjemahan kata science menjadi ilmu atau ilmu pengetahuan memiliki masalah yang pokok. Selanjutnya, ia mengusulkan kata padanan untuk ilmu adalah knowledge, sedangkan science adalah ilmu pengetahuan.
Pengadaan alternatif ini dilihat dari makna ilmu sebagai serapan dari ‘ilm dalam bahasa Arab. Makna semantic knowledge memang lebih tepat diterjemahkan sebagai ilmu, dan sains merupakan semacam spesies dari ilmu, yaitu ilmu pengetahuan yang berdasar pada penginderaan objek sains tersebut.
‘Ilm memiliki dimensi lahiriyah yaitu “tahu” dan dimensi bathiniyah yaitu “kenal.” Sedangkan “kenal” berdimensi lebih intens daripada “tahu.”3
Demikian pula, Syed Naquib al-Attas juga memberikan catatan khusus mengenai penyebutan sains sebagai ilmu tersebut dikarenakan ilmu merupakan istilah dari bahasa Arab yaitu ‘ilm.
Sedangkan makna ‘ilm dalam bahasa Arab mencakup ma’rifah (ilmu pengenalan) dan ilmu pengetahuan (sains). Karena keduanya memiliki implikasi masing-masing.
Menurut Syed Naquib al-Attas, ada dua hal yang menjadi implikasi pernyataan ini :
Pertama, ini menunjukkan klaim bahwa sains, karena berurusan dengan objek-objek yang dapat diketahui, yaitu diamati dengan indera, termasuk dalam ilmu pengetahuan, dengan demikian, ada dua pilihan penerjemahan kata science: “sains” yang diadaptasi dari bahasa Inggris, atau “ilmu pengetahuan”. Sebagaimana penggunaan “ilmu pengenalan” sebagai terjemah dari “ma’rifah”.
Kedua, menggunakan kata “ilmu” untuk menyebut sains yang hanya berkaitan dengan objek-objek inderawi adalah penyempitan makna ilmu yang sebenarnya; karena dengan ini objek-objek yang tak bisa diketahui, namun bisa dikenal, seperti Tuhan, akan dikeluarkan dari wilayah ilmu. Implikasi lebih jauhnya, sebagaimana tersirat dalam penggunaan kata “ilmiah” (scientific) adalah segala pernyataan yang tidak “ilmiah” atau tidak bersumber dari “ilmu” (dalam hal ini “sains” menurut Barat), dianggap lebih rendah derajatnya.
Pada gilirannya ini berarti segala ilmu yang, sebagai contoh, bersumber dari agama, mengenai masalah-masalah moral, yang tidak bisa “dibuktikan” menjadi tidak cukup bernilai.
Penyempitan makna ini, secara sadar atau tidak merupakan proses sekularisasi, yaitu penghapusan makna ruhaniah dari segala sesuatu yang sesungguhnya dimulai dari bahasa.4
Dalam Islam, sains sangat terikat dengan ilmu pengetahuan dan iman. Karena sifat dari kandungan proposionalnya sama dengan sifat dari prinsip pertama logika dan pengetahuan metafisika, etika, dan estetika; maka dengan sendirinya dalam diri subjek ia bertindak sebagai cahaya yang menerangi segala sesuatu.
Bahwa iman adalah suatu visi yang menempatkan semua data dan fakta dalam perspektif yang sesuai dengan, dan perlu bagi, pemahaman yang benar atas mereka.
Ia adalah dasar bagi penafsiran yang rasional atas alam semesta sebagaimana ia merupakan prinsip utama dari akal, tidak mungkin bersifat non-rasional dan bertentangan dengan diri sendiri.5
Alam semesta yang menjadi sumber realitas penalaran sains merupakan gambaran yang tak terpisahkan dari wujud Allah. Karena di balik wujud dan realitas alam semesta ini terdapat dimensi metafisik dan tujuan dari penciptaannya.
Sains dalam Islam ditujukan untuk melakukan pembuktian terhadap isyarat-isyarat untuk pencarian ilmu sebagaimana tertera dalam al-Qur’an.6
Imam Abu Hamid Al Ghazali Rhm bahkan menyatakan, “Iman tidak menyangkal, menentang atau melawan kesaksian akal, tetapi justru menguatkannya. “Aku mencari obat bagi keraguanku, tetapi itu mustahil tanpa adanya bukti rasional. Akan tetapi, tidak akan ada bukti yang kuat kecuali jika didasarkan pada ilmu-ilmu primer (metafisika). Dan karena dasar dari ilmu-ilmu ini tidak kuat, kesimpulan-kesimpulannya dan segala sesuatu yang dibangun di atasnya juga tidak kuat. Tetapi kemudian – dengan iman – semua dasar-dasar rasional (dari sains dan metafisika) menjadi kuat, secara sahih dan dapat diterima secara rasional, didukung sepenuhnya oleh dasar-dasar mereka dalam pengetahuan.” 7
Sains Islam secara khusus dapat didefinisikan sebagai aktifitas saintifik atau ilmiah yang memiliki dasar atau berpedoman pada Islamic worldview (yaitu penggunaan konsep “natural” secara Islami) dan merupakan pengejawantahan secara langsung dari skema konseptual saintifik yang Islami.8
Tentunya dalam pencapaian kegiatan saintifik/ ilmiah ini, Islam juga menekankan adanya sumber-sumber dan metode ilmu tersebut.
Islam memandang sains yang bersifat fisik tidak hanya pada tataran lahiriyah saja, namun juga adanya tujuan, kebenaran, dan pengakuan wahyu sebagai satu-satunya sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran yang terkait dengan makhluk dan khaliknya.9
Artinya, dalam melakukan kegiatan saintifik, para ilmuwan muslim yang berpedoman pada al-Qur’an dan Hadits akan dapat melahirkan produk sains yang membawa maslahat bagi kehidupan manusia, baik jangka panjang maupun jangka pendek.
Jadi, untuk melihat hubungan antara sains dan agama (dalam hal ini Islam), gunakanlah “kacamata” yang sesuai. Indonesia adalah negara yang menolak disebut sebagai negara sekuler, ia lebih suka dianggap sebagai negara kebangsaan yang berketuhanan (religious nation state), maka dalam memandang hubungan antara sains dan agama harus menggunakan worldview agama.
Maka sangat logis manakala seorang muslim ketika melihat sains dan agama dengan worldview Barat, saat itu juga nampak bahwa antara sains dan Islam (sebagai agama) tidak ada hubungannya.
Sebagaimana sains merupakan hal yang ilmiah dan materialistis sedangkan agama adalah urusan pribadi (private).
Seorang ilmuwan termasuk ilmuwan muslim sekalipun jika memiliki framework berfikir sekuler, tentu juga akan berfikir bahwa hubungan sains dan Islam adalah negatif, bahkan sains Islam akan dianggap omong kosong karena berpegang pada pendapat bahwa ilmu dan sains adalah netral.
Hal tersebut juga akan terjadi pada sarjana muslim yang tidak mempelajari Islam secara mendalam dan filosofis, sehingga ia menganggap Islam hanya sekedar ritual keagamaan tanpa memiliki dimensi yang lebih luas.
Yang seharusnya terjadi, bahwa antara sains dan Islam memiliki hubungan yang sangat erat, karena sains Islam adalah lahir dari worldview dan pandangan hidup Islam yang terderivasi dari al-Qur’an dan Hadits sebagai otoritas kebenaran.
Dan kita tidak boleh memaknai sains dan agama sebagaimana yang ada dalam tradisi Barat, atau bahkan melihatnya dengan framework berfikir Barat.
Karena jika demikian, kita akan ikut berkesimpulan bahwa dalam sains dan agama tidak ada hubungan apapun.10
Dan inilah yang dilakukan oleh Jerinx dan orang-orang sekuler yang menuding bahwa agama hanyalah teori konspirasi karena tidak sesuai dengan sains dalam pendapat mereka. Sedangkkan semua itu terbantah secara ilmiah dengan beberapa penjelasan di atas.
Penutup Dan Kesimpulan
Kita hidup di zaman penuh fitnah yang mana digambarkan oleh Rasulullah Saw seperti potongan malam yang pekat. Pagi hari seseorang masih dalam keadaan beriman, namun sore hari sudah menjadi kafir. Sebaliknya, ada seseorang yang pada sore hari masih dalam keadaan beriman namun esok paginya sudah dalam keadaan kafir.
Semua itu tak lain disebabkan oleh salah satu dari tiga hal, yaitu murtad (baik dengan sadar ataupun tidak) lewat perkataan; perbuatan; atau berubah i’tiqod.
Dan ucapan bahwa agama hanyalah bagian dari teori konspirasi adalah termasuk bentuk nyata keraguan si pengucap akan kebenaran suatu agama.
Penulis tidak paham dengan apa saja penyebab orang dianggap murtad dari agama selain Islam, namun di dalam Islam, seperti dijelaskan dalam kitab Sullamut Taufiq pada bab kewajiban menjaga agama, Syekh Nawawi Banten menyatakan,
وقَدْ كَثُرَ في هذا الزَّمانِ التَّساهُلُ في الكَلامِ حَتَّى إنَّهُ يَخْرُجُ مِنْ بَعْضِهِمْ ألْفاظٌ تُخْرِجُهُمْ عن الإسْلامِ، ولا يَرَوْنَ ذٰلك ذَنْبًا فَضْلًا عن كَوْنِهِ كُفْرًا
“Pada zaman ini banyak orang yang sembrono dalam berkata-kata. Sehingga yang diucapkan sungguh sungguh mengeluarkan dirinya dari agama islam, sementara dia sama sekali tidak pernah menganggap bahwa yg diucapkan itu dosa, apalagi dianggap kufur malah tak mungkin.”
والرِّدَّةُ ثَلاثَةُ أقْسامٍ: اعْتِقاداتٌ وأفْعالٌ وأقْوالٌ، وكُلُّ قِسْمٍ يَتَشَعَّبُ شُعَبًا كَثِيرَةً
“Perbuatan murtad terbagi menjadi tiga hal :
1. Murtad i'tiqod (keyakinan dalam hati)
2. Murtad fi'liyah (perbuatan)
3. Murtad qouliyah (ucapan
Masing-masing bagian bercabang sangat banyak”
Dari penjelasan yang sangat banyak tersebut ada kalimat menarik dari Imam Nawawi Banten, pada pasal penyebab murtad secara I’tiqod (keyakinan), ada kalimat,
أو تَرَدَّدَ فيه، لا وَسْوَسَةٌ
“...Bimbang (ragu) dalam agama (Islam) “namun” bukan karena was-was...”
Ucapan bahwa agama (termasuk juga Islam) adalah sama posisinya dengan teori konspirasi yang tidak sesuai dengan sains dan data faktual sebab agama hanya bersumber dari “katanya” tentu termasuk bentuk keragu-raguan dalam beragama yang dalam Islam konsekuensinya sangat berat yakni mengakibatkan kekufuran.
Jadi marilah lebih berhati-hati dalam hal ini sebab kehilangan iman adalah sebuah bencana paling besar bagi seorang Mukmin di dunia ini.
Seperti kata penulis kitab Sullamut Taufiq, yang mengatakan pada akhir pembahasan bab penyebab murtad,
وَيهوديۃ فليحذار الانسان من ذلك جهده
“Karenanya, semua insan tak lain diriku juga harus waspada dan hati-hati sekuat tenaga terhadap hal-hal di atas”
Wallahu A’lam Bishowab.
Bahan Pustaka :
1. Prof. Dr. H. M. Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam Pada Perguruan Tinggi, Hal. 7-23, Terbitan PT. Bulan Bintang Cet. Ke 4 Tahun 1985
2. https://kumparan.com/tugujogja/mahfud-md-indonesia-bukan-negara-agama-1535019091951211482
3. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) hlm. 291-299
4. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Penerbit Mizan: Bandung, 1995) cet. 1, hlm. 23
5. Ismail Raji al-Faruqi, al-Tauhid: Its Implications for Thought and Life (Kuala Lumpur: Percetakan Zafar Sdn BHd, 1992) hlm. 42
6. Osman Bakar, The History and Philosophy of Islamic Science, (Brooklands Avenue: Islamic Texts Society, 1999) hlm. 64
7. al-Munqidz min al-Dhalal (Damaskus: University Press, 1956) hlm. 62-63
8. Dikutip dari Alparslan Acikgenc, Islamic Science: Towards a Definition, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), hlm. 38-40
9. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Penerbit Mizan: Bandung, 1995) cet. 1, hlm. 33
10. HUBUNGAN ISLAM DENGAN SAINS, makalah Khoirul Umam, M.Ec, PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DARUSSALAM (UNIDA) GONTOR 1437/2016
BACA JUGA
Kategori:
agama adalah teori konspirasi
agama dan sains
atheis
conspiracy theory
did world needs religion
islam and science
kebenaran islam
seculerism