D Power Of Advice

Nasihat Adalah Obat

Oleh : Muhammad Syafii Kudo

Dikisahkan suatu hari Imam Abu Hanifah melihat seorang anak kecil yang sedang berjalan menggunakan terompah (sepatu) yang ukurannya terlalu besar untuk anak seusianya. Lalu beliau dengan lembut menegur si anak untuk mengingatkannya, " Hei, Nak! hati-hati dengan sepatumu yang kebesaran itu, nanti kamu bisa terjatuh."

Si anak kecil lalu menoleh kepada sang Imam dan berkata, "Terima kasih, Paman, telah mengingatkan saya. Jika boleh tahu siapakah nama paman?"
Imam Abu Hanifah menjawab, "Namaku Nu'man Bin Tsabit."

"Oh jadi anda yang dijuluki sebagai Imam Abu Hanifah yang alim itu?," tanya si anak kecil.

"Itu adalah bentuk khusnuddon mereka kepada saya, padahal sebenarnya saya tak pantas menyandang nama itu," jawab Imam Abu Hanifah dengan rendah hati.

"Berhati-hatilah Paman dengan nama besar yang anda sandang. Jika saya dengan sepatu yang kebesaran bisa terjatuh, itu dampaknya hanya bagi saya sendiri dan sakitnya hanya di dunia. Namun jika paman dengan nama sebesar itu terjatuh, maka tanggung jawab anda sangat besar di dunia dan akhirat kelak, sebab bukan hanya anda yang merasakannya namun umat juga akan ikut jatuh akibat selama ini sudah meniru apa yang anda ajarkan."

Demi mendengar nasihat dari anak kecil itu, Imam Abu Hanifah seketika langsung menangis tersedu-sedu. Sebab dia tersadar akan tanggung jawab besar yang harus dipikulnya kelak. Jika orang awam terjatuh di dalam kesalahan maka dosanya dia tanggung sendiri. Namun jika yang tergelincir adalah seorang ulama, tokoh negara, pemimpin negara, public figure, atau influencer media sosial, yang mana mereka semua diikuti serta dikerjakan "fatwa" nya maka mereka akan memikul tanggung jawab dari semua pengikutnya.

Ini persis dengan ungkapan,

اِØ°َا زَÙ„َّ الۡعَالِÙ…ُ زَÙ„َّ بِزِ Ù„َّتِÙ‡ِ عَالَÙ…ٌ

"Jika seorang alim tergelincir, maka dunia ikut tergelincir"

Mengapa disebut dunia ikut tergelincir manakala seorang alim tergelincir, itu karena menggambarkan betapa luasnya jangkauan kerusakan yang diakibatkannya. 

Contoh nyata, ada seorang tokoh agama kenamaan di Indonesia yang berfatwa bahwa berjilbab tidak wajib yang tentu menyelisihi pendapat jumhur ulama 4 mazhab. Dan fatwa "nyeleneh" itu diikuti oleh banyak orang termasuk salah seorang putrinya sendiri, maka tokoh tersebut tentu akan mempertanggung-jawabkan apa yang dia fatwakan itu kelak.

Ini sama dengan yang terjadi belakangan di republik ini. Dimana ada seorang tokoh di sebuah lembaga tinggi pengembangan ideologi negara menyatakan bahwa musuh terbesar pancasila adalah agama. Dan dia juga mengatakan bahwa ayat konstitusi harus ditaati melebihi ayat suci dalam hidup bernegara di wilayah NKRI.

Tentu saja berbagai pernyataan kontroversial itu mendapat banyak hujatan dari masyarakat, terutama umat Islam. Bagaimana bisa agama dibenturkan dengan Pancasila. Padahal Panitia Sembilan yang membidani lahirnya rumusan Pancasila adalah didominasi oleh tokoh beragama Islam (8 orang), 4 orang Ulama (Nasionalis Islamis), 4 tokoh Nasionalis Kebangsaan, dan satu tokoh beragama Kristen. Artinya rumusan Pancasila dilahirkan oleh para orang beragama di negara berketuhanan yang maha esa.

Berdasar fakta sejarah tersebut maka tudingan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama seperti slogan khas PKI tertolak secara otomatis.

Setelah mendengar berbagai masukan dari beberapa koleganya pasca berbagai kegaduhan yang dibuatnya, akhirnya si tokoh tersebut kini mulai puasa bicara. Demi menjaga agar tidak selip lidah lagi. (https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200229173228-20-479358/takut-kepleset-omong-kepala-bpip-puasa-bicara-satu-tahun)

Dari kisah Imam Abu Hanifah hingga berbagai pernyataan kontroversial ketua lembaga yang mengurusi ideologi negara tersebut ada sebuah pelajaran penting yang bisa diambil yakni masalah beban tanggung jawab berbanding lurus dengan besarnya "gelar" yang disandang seseorang. Semakin besar gelar seseorang di masyarakat semakin besar pula pengaruhnya. Dan semakin besar pengaruh seseorang di suatu masyarakat, sebesar itu pula tanggung jawab yang akan dipikulnya. Maka agar tidak melenceng ke jalur yang salah mereka perlu selalu diberi nasihat yang membangun. Demi keselamatan bersama.

Di dalam Al Qur'an Allah memerintahkan untuk memberi nasihat.

"Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat. Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran. Orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka)." (Qs. Al A'laa : 09-11).

Sungguh perintah memberi nasihat itu berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Erasmus yang mengatakan, "Jangan memberi nasehat kalau tidak diminta."

Sebab dalam Islam ada kewajiban Amar Makruf Nahi Munkar. Yang mana salah satu instrumennya adalah dengan memberi nasihat. Lihat, sekelas Imam Abu Hanifah sang ulama besar di zamannya mau mendengar nasihat seorang anak kecil tentang masalah amanah "jabatan" karena beliau paham bahwa nasihat adalah obat. Memang terkadang pahit, namun menyelamatkan pastinya.

Jadi jika hari ini ada tokoh yang tidak mau mendengar nasihat, kritik, dan saran dari Ulama dan rakyat, maka bisa diukur kadar kelayakan dan kearifannya sebagai seorang pemimpin. Dan yang jelas orang yang anti nasihat adalah orang yang tidak mau diselamatkan. Karena tabiat manusia adalah pasti melakukan salah dan lupa, jadi jika ada orang yang tidak mau dinasihati maka pasti dia akan terjerumus ke dalam dosa berkepanjangan karena manusia memang tempatnya salah dan lupa. Wallahu A'lam.
(Editor : Senyapena)

BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama