Racun Hermeneutika

Hermeneutika: Obat Traumatik Barat Untuk Merusak Akidah Islam

Oleh : Abduh Rijal*

Bernard lewis pernah membuat statemen yang menyatakan bahwa ada yang salah dengan umat Islam. Dibandingkan dengan peradaban Barat, Islam terlihat semakin bodoh, lemah, dan tidak berdaya.

Sejak zaman Renaisance atau pencerahan, peradaban Barat memang telah mencapai kemajuan yang besar, dan semua kemajuan itu membuat Barat mulai berani memasarkan ide beserta gaya hidupnya ke seluruh dunia melalui globalisasi dan westernisasi.

Dalam era kolonialisme, penjajahan Barat hanya sebatas kepada eksploitasi kekayaan alam. Namun kolonialisme Barat gaya baru mulai banyak merambah kepada wilayah privat seperti agama dan kebudayaan.


Karena memang penjajahan gaya yang demikian terbukti lebih efektif dan efisien daripada perang fisik dengan senjata – senjata yang mahal.

Perang pemikiran menjadi alternatif tersendiri bagi para penjajah. Ketika globalisasi memasuki sebuah negara, aspek food, fun, and fashion dari Barat akan menggantikan model kebudayaan lama yang telah ada.

Namun John Naisbit mengatakan bahwa selain 3F, ada satu aspek lagi yang dipasarkan oleh para penjajah yaitu 1T (Thoughts). Salah satunya adalah model pemikiran penafsiran hermeneutika yang muncul akibat pemikiran kaum liberal.

Pemikiran Islam Liberal berawal dari pengaruh pandangan hidup Barat dan peradabannya yang hegemonic dan mendominasi semua bidang kehidupan dewasa ini.

Ia merupakan percampuran antara pemikiran modernisme dan mencoba memberikan tafsiran Islam yang sesuai dengan Modernity dan pemikiran post modernism.

Liberalisme mencoba untuk melakukan deconstruction terhadap segala bentuk pemikiran yang telah mapan. Dan salah satu pentuk perubahan dalam hal penafsiran teks keagamaan adalah bentuk penafsiran hermeneutika sebagai alternatif dari tafsiran model lama yang dianggap telah usang dan ketingggalan zaman.

Menurut Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an,  Dalam arti sempit, hermeneutika dipahami sebagai metode yang digunakan untuk memahami dan menafsirkan hal-hal yang memerlukan penafsiran, seperti ungkapan-ungkapan atau simbol - simbol, yang oleh beberapa faktor sulit untuk dipahami.

Sedangkan dalam arti luas, hermeneutika dapat dipahami sebagai cabang ilmu pengetahuan yang membahas hakekat, metode dan syarat serta prasyarat penafsiran.
Kata hermeneutika itu sendiri berasal dari kata kerja Yunani hermeneuien, yang memiliki arti, menafsirkan, menginterpretsikan atau menerjemahkan. Yang kemudian diserap ke dalam bahasa Jerman Hermeneutik dan bahasa Inggris. Kata ini sering di asosiasikan dengan nama salah seorang dewa Yunani, Hermes yang dianggap sebagai utusan para dewa bagi manusia.

Pengasosiasian hermeneutik dengan Hermes secara sekilas menunjukkan adanya tiga unsur dalam aktivitas penafsiran, yaitu:

1. Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa oleh Hermes

2. Perantara atau penafsir (hermes)

3. Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima.

Meskipun interpretasi hermeneutis telah dipraktekkan dalam tradisi Yunani, namun istilah hermeneutike baru pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM) yakni Politikos, Epinomis, Definitione dan Timeus.

Dan Organon karya Aristoteles, ada pula penulis kuno yang lain, seperti Xenophon, Eurupedes, Epicurus, dan Longinus.

Ensiklopedia britanica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip – prinsip umum tentang interpretasi Bible. Tujuan dari hermeneutika adalah menemukan kebenaran dan nilai – nilai dalam Bible. Dalam sejarah interpretasi Bible ada empat model utama interpretasi yaitu :

1) Literal interpretation

2) Moral Interpretation

3) Alegorical Interpretation

4) Anagogical Interpretation

Awalnya hermenutika adalah metode tafsir sebuah teks, namun karena ia lahir dalam kehidupan Barat untuk menafsirkan Bible yang bermasalah, maka hemenutikan sangat sarat dengan nilai liberalisme.

Secara harfiah, ‘hermeneutika’ artinya ‘tafsir’. Secara etimologis, istilah hermeneutika dari bahasa Yunani hermêneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk kepada seorang tokoh mitologis dalam mitologi Yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius).

Di kalangan pendukung hermeneutika ada yang menghubungkan sosok Hermes dengan Nabi Idris. Dalam mitologi Yunani Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada manusia.

Dari tradisi Yunani, hermeneutika berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang dikemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Hermeneutika ingin menangkap makna dari suatu teks, maka metodologi hermenutika menyatakan bahwa makna bisa ditangkap dengan obyektif.

Schleimacher mangatakan bahwa makna ada di balik pengarang. Dengan hermenutika romantisnya, seorang pembaca bisa membaca teks lebih baik dari pengarangnya. Dalam pendekatan psikologis, pembaca bahkan bisa memahami isi hati pengarang.

Berbeda dengan dilti, makna bisa ditangkap dengan obyektif, namun  bukan dalam pengarng tapi dalam lingkungan pengarang. Bukan apa maksud pengarang, tapi apa yang terjadi dalam ligkungan pengarang.

Secara ontologis, makna tidak mungkin objektif, maka subjektifitas dalam hermenutika ada pada pembaca. Makna kemudian terserah kepada kemampuan para pembaca.

Jurgen habermas mengatakan bahwa makna itu di balik kepentingan, khususnya penguasa. Apa maksud pengarang adalah terjadi karena faktor lingkungan, dan lingkunagn pasti dipengaruhi kepetingan terlebih lagi penguasa. Sebagai contoh ketika muslim politik di masa kampanye maka seorang penulis akan terkait dengan penguasa.

Ontologis kritis mengatakan bahwa makna ada pada otonomi teks, Paul Richour menemukan re-kontekstualisasi dan de-kontektualisasi.

Metodenya berusaha membaca lingkungan pengarang, membaca kepentingan pengarang, kemudian pembacaan itu didekontektualisasi, ia mengambil pesan moral dalam suatu teks untuk kepentingan masa kini.

Derrida lebih parah lagi karena ia membawa misi dekonstruksi, makna bisa ada dimana mana. Rekonstruksi berarti mengganti sebagian saja, dekonstruksi berarti menghabiskan semuanya. Bahasa itu terbatas, jika sebuah handphone kemudian dianggap sebuah bolpoin atau gorengan oleh semua orang maka handphone bisa berubah makna menjadi sebuah kesepakatan.

Beberapa waktu yang lalu seorang aktivis parpol mengomentari pemahaman surah al-Maidah ayat 51 dalam kaitannya dengan haramnya memilih pemimpin non-Muslim. Ia menyatakan, "Yang tahu makna atau tafsir surah itu hanya Tuhan, kita sebagai manusia tidak tahu." Ini juga pernyataan yang sama bingungnya dengan yang pertama. Seakan-akan Alquran itu kitab suci yang mustahil dipahami manusia.

Pandangan aktivis parpol itu seperti terpengaruh oleh mitologi Yunani atau mungkin ia baru membaca filsafat hermeneutika postmodern.

Di zaman Yunani memang ada kisah bahwa pesan dewa-dewi di Olympus  itu "tidak dapat dipahami manusia". Karena itu, orang terpaksa memahaminya melalui Hermes atau penyair Homer.

Boleh jadi yang mengatakan firman Tuhan tidak bisa dipahami oleh manusia secara mutlak terinspirasi oleh wacana di kalangan Katolik.

Robert M Robinson, seorang tokoh Katolik AS, menulis begini:

"It is very common today for people to say "We cannot understand the Bible alike". Such a statement  is often offered in defense of the more than 400 different denominations that exist in the world."

Ini berarti Bible tidak bisa dipahami sama oleh semua orang. Di sini para cendekiawan Muslim lalu  meng-copy-paste dan mengatakan "satu ayat seribut tafsir", "tidak ada tafsir tunggal", "yang tahu makna Alquran yang sesungguhnya hanyalah Tuhan", dan seterusnya.

Suatu ketika Dr. Hamid Fahmi Zarkasy mencoba menyampaikan tren cendekiawan Muslim ini kepada Syed Naquib al-Attas. Beliau spontan  menjawab, "Tidak ada perintah dalam Alquran agar manusia memahami Alquran seperti yang dimaksud  oleh Allah. Kita juga tidak diperintah untuk mengenal Allah dengan hakikat yang sesungguhnya," demikian seterusnya.

Jika Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw itu tidak dapat dipahami oleh umatnya, maka berarti Nabi telah dianggap gagal membawa risalahnya.

Jika Alquran tidak dapat dipahami oleh umat Islam, mustahil peradaban Islam tegak berdiri dan berkembang selama 7-10 abad lamanya.

Selain itu, pemahaman manusia dengan tafsir yang bermacam-macam tidak berarti Alquran sulit dipahami. Tafsir-tafsir itu menunjukkan bahwa Alquran dapat dipahami dari berbagai aspek. Tafsir-tafsir yang bertentangan antara satu dengan lainnya hanya sedikit. Itu pun tidak pernah mengubah hal-hal yang bersifat muhkamat atau thawabit.

Al-Attas bahkan menganggap tafsir Quran sebagai karya ilmiah dengan metode ilmiah dan mendekati sifat sebuah ilmu pasti.

Sebab, jika orang menafsirkan Alquran, ia harus merujuk bahasa Arab, ayat Alquran yang lain, dan hadis. Maka al-Attas tegas bahwa, "Dalam tafsir tidak ada ruang bagi perkiraan; tidak ada ruang untuk interpretasi berdasarkan pada pemahaman subjektif, atau pemahaman yang hanya didasarkan kepada ide tentang relativisme historis …." Maka dari itu, untuk menakwilkan sebuat ayat aturan-aturan yang ketat, ia harus bersesuaian dengan ayat-ayat lain yang muhkamat (yang jelas) dan harus didukung oleh hadis-hadis nabi yang sahih.

Intinya, teks keagamaan (wahyu) dalam pandangan liberal tidak dapat dipahami oleh penulisnya. Ini relevan dengan teori hermeneutika di Barat yang berangkat dari ujaran bahwa firman dewa-dewi atau firman Tuhan tidak bisa dipahami dan berakhir dengan teori interpretasi yang sarat dengan kepentingan.

Maka, Ernest Gellner menyimpulkan bahwa kebenaran objektif akan digantikan oleh kebenaran hermeneutika, sebab kebenaran hermeneutika lebih mengutamakan subjektivitas objek yang  dikaji dan pengkajinya, dan bahkan subjektivitas pembaca atau pendengar.

Upaya cendekiawan Muslim untuk "mengadopsi" filsafat hermeneutika sebagai alternatif tafsir Alquran masih harus dikaji lebih serius.

Metode tafsir dalam tradisi intelektual Islam tidak bisa  dibandingkan dengan metode hemeneutika dalam tradisi Yunani ataupun Kristen, apalagi diganti. Sebab, makna realitas dan kebenaran yang menjadi acuan konsep dan teori para hermeneutik berbeda jauh dari teori dan konsep Islam.

Jadi, jika Muslim tidak paham makna Alquran, ia tidak perlu bilang "hanya Allah yang tahu". Jika Muslim tidak mampu menafsirkan makna Alquran, ia tidak perlu minta tolong kepada Hermes, Habermas, Gaddamer, Paul Ricour, dsb.

Ia hanya perlu merujuk kepada ayat-ayat yang lain, kepada Rasulullah SAW, dan para ulama yang rasikhun fil ilmi. Wallahu A'lam Bis Showab.
*Aktivis Aswaja Bangil

Referensi :

1. Wajah Peradaban Barat; Dr. Adian Husaini
2. https://inpasonline.com/filsafat-tafsir/

BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama