Kelas Menengah Indonesia Cenderung Konsumtif, ‘Racun’ Jangka Panjang. Demikian judul postingan dalam sebuah laman daring media nasional, 06 Februari 2020.
Apa dan siapa saja kelas menengah itu? Center Makroekonomi dan Keuangan INDEF Abdul Manap Pulungan menjelaskan bahwa berdasarkan pengeluaran atau konsumsinya, kelas menengah dibagi menjadi beberapa kelompok.
Pertama, kelompok dengan pengeluaran di bawah Rp 1 juta per bulan.
Kedua, kelompok dengan pengeluaran Rp 1 juta - Rp 1,5 juta per bulan.
Ketiga, kelompok dengan pengeluaran Rp 2 juta -Rp 3 juta per bulan.
Keempat, kelompok dengan pengeluaran Rp 3 juta - Rp 5 juta per bulan.
Kelima, kelompok dengan pengeluaran Rp 5 juta - Rp 7,5 juta per bulan.
Terakhir, kelompok dengan pengeluaran di atas Rp 7,5 juta per bulan.
Menurut lembaga tersebut, kelompok yang ada di Indonesia itu masih didominasi kelompok paling bawah, sehingga berpeluang kembali ke kelompok berpenghasilan rendah.
Sehingga kecenderungan konsumtif di kalangan kelas menengah tersebut dalam jangka panjang dianggap membahayakan. Sebab produk-produk yang mereka pakai mayoritas berasal dari hasil impor.
Sehingga, jika tidak dibarengi dengan kegiatan yang produktif, maka bonus demografi akan kadaluarsa pada 2045. Apalagi, pada tahun itu, diperkirakan terjadi lonjakan lansia mencapai 63,32 juta.
Selain berpotensi mengabaikan bonus demografi, kecenderungan konsumtif ini juga memaksa pemerintah untuk terus melakukan intervensi pasar. Hal ini jika dibiarkan terus-menerus tentu akan mengganggu perekonomian nasional.
Terutama di saat dunia sedang dilanda krisis ekonomi dimana sistem ribawi global hari ini makin terdampak oleh perang dagang antara AS dan China. Indonesia mau atau tidak mau jelas merasakan dampak yang signifikan. Terutama pada sektor barang ekspor yang mana negara tujuan utama dari komoditi-komoditi tersebut didominasi oleh AS, Eropa, Jepang dan China.
Krisis ekonomi global juga makin diperparah dengan mewabahnya virus corona yang menggoyang ekonomi China sang adidaya ekonomi saat ini yang berimbas besar bagi dunia.
Selain karena faktor global, ternyata pertumbuhan Ekonomi RI sendiri memang dikabarkan tidak terlalu baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 tercatat hanya 5,02%. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya 5,17%. (http://m.detik.com/finance/berita-ekonomi-bisnis/d-4889223/ekonomi-mentok-5-ke-mana-jokowi-effect).
Gebrakan 100 hari pemerintahan baru Jokowi-Amin dalam sektor ekonomi juga dinilai belum signifikan. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mengatakan bahwa target Presiden Jokowi untuk memacu pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen di periode Kabinet Indonesia Maju kian diwarnai pesimisme.
Menurutnya, kebijakan-kebijakan yang diambil Pemerintah Jokowi-Amin justru bersifat menahan pertambahan ekonomi. Sehingga daya beli masyarakat yang terpangkas akibat penurunan harga komoditas dan dampak pelemahan global, semakin tertekan dengan sejumlah kebijakan kenaikan harga di awal tahun ini.
Di antaranya adalah kenaikan tarif iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan cukai rokok, penyesuaian tarif tol, hingga perubahan pola penyaluran subsidi gas LPG. (http://fokus.tempo.co/read/1301179/100-hari-pemerintahan-jokowi-ekonomi-melemah-sampai-kapan)
Jangan Anggap Remeh
Apa yang terbesit di benak kita jika mendengar kata informal. Terlebih jika disandingkan dengan kalimat sektor kerja yang tersambung menjadi istilah lengkap sektor kerja informal.
Tentu kebanyakan yang melintas di pikiran adalah gambaran bidang kerja non PNS, Non BUMN, bukan karyawan perusahaan swasta bonafit dsj.
Malah bisa jadi yang terbayang adalah gambaran kerja kaki lima, asongan, pertanian, pasar tradisional, kumuh, becek, tidak keren dan berbagai ciri peyoratif lainnya.
Deskripsi dikotomis seperti itu wajar ada karena sedari dini di bangku sekolah kita (secara tak langsung) terdidik secara materialis-kapitalis yang mana pemujaan kepada simbol-simbol kemajuan ekonomi ala Barat adalah sebuah rukun utama.
Dan jika ditarik lebih ke belakang, ini akibat dari kolonialisme bangsa asing selama ratusan tahun. Yang mana mental pribumi dijongkok-kan hingga paling dasar melalui perbudakan romusha, kerja paksa, dan kerja rodi hingga pendidikan ala Belanda yang kapitalis, sehingga terbentuk dalam perspektif pribumi bahwa jika ingin terlihat modern ala Eropa maka harus jadi pegawai di pemerintahan Kolonial Belanda atau perusahaan bentukan kolonial Belanda.
Dan pribumi yang berada di luar sektor kerja tersebut "dilabeli" sebagai pekerja sektor informal yang saat itu bercirikan kumuh, marjinal, dan jelata. Seyogyanya stigmatisasi semacam ini harus diluruskan. Sebab faktanya negeri ini memang tak bisa lepas dari jasa para pekerja sektor informal.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sektor informal mendominasi pekerjaan di Indonesia. Pada Februari 2019, tercatat penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor informal sebanyak 74 juta jiwa. Sementara penduduk yang bekerja di sektor formal hanya 55,3 juta jiwa.
BPS menyebutkan, perkembangan sektor informal dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, perkembangan ekonomi digital dan teknologi memacu tumbuhnya wiraswasta secara online dan mandiri. Selain itu, pertumbuhan sektor informal juga dipengaruhi dari karakteristik kaum milennial yang cenderung memilih jam kerja fleksibel.
Sisi lainnya, pertumbuhan pekerja informal juga dapat disebabkan alternatif terakhir untuk sekadar mendapatkan pekerjaan. Selain itu, pembangunan yang tidak merata juga menjadi faktor pendorong pertumbuhan sektor informal. (http://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/10/21/sektor-informal-mendominasi-pekerjaan-di-indonesia-2015-2019)
Sang Penolong Bangsa
Ada fakta menarik yang terungkap dari sisi lain sektor informal di Indonesia. Ternyata merekalah penyelamat ekonomi Indonesia saat diterpa krisis ekonomi dahsyat 1997-1998. Salah satu sektor informal yang mampu menyelamatkan Indonesia saat itu adalah Pedagang Kaki Lima.
Pada tahun 2012 nilai bisnis pedagang Kaki Lima di seluruh Indonesia mencapai Rp 3.800 Triliun per tahun atau 2,7 kali lipat APBN 2012 Indonesia. Mereka menjadi tulang punggung distribusi yang menguasai 80 persen jaringan distribusi hilir.
Ali Mahsun, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) , mengatakan bahwa di seluruh Indonesia terdapat 25 juta anggota APKLI dan juga masih ada jutaan PKL lain yang belum bergabung dengan APKLI.
Mereka berperan penting sebagai distributor paling hilir aneka jenis produk. Hal ini dijelaskan di sela rapat pimnas APKLI , Sabtu (20/10/12), di Batam Kepulauan Riau yang dibuka oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa saat itu. (Kompas, 22/10/12).
Data tersebut diwartakan Kompas pada tahun 2012 alias 8 tahun yang lalu. Tentu data itu akan menjadi lebih besar di tahun ini mengingat tren kenaikan sektor kerja informal masih mendominasi perekonomian di Indonesia saat ini. (http://musyafucino.wordpress.com/2012/12/18/sang-juru-selamat-indonesia/#more-1030)
Berbagai fakta tersebut mengingatkan penulis kepada sabda Nabi mulia,“Sesungguhnya Allah menolong umat ini dengan sebab orang yang lemah dari mereka, yaitu dengan sebab doa mereka, sholat mereka dan keikhlasan mereka.”(HR.Bukhari, di dalam Shahihnya, Kitab Al Jihad was Siyar, Bab Man Ista’ana bidh Dhu’afa-i wash Shalihina fil Harbi, no. 2896 dari jalan Muhammadbin Thalhah dari Thalhah dari Mush’ab bin Sa’ad).
Maka sebagai insan yang tahu cara berterima kasih dan bersyukur, hendaklah mulai sekarang kita membuka mata dan hati. Jangan pernah meremehkan orang-orang yang rela mengemban amanah Ilahi untuk mengambil peran menyelamatkan negeri ini dari jalur mandiri (informal).
Sebab mereka adalah penopang negeri ini. Sokoguru ekonomi bangsa. Penjaga Perut Bangsa dari ketidak-terisian. Dan mereka pula yang menjadi wasilah pertolongan Tuhan bagi bangsa ini.
“Bukankah kalian ditolong (dimenangkan) dan diberi rezeki melainkan dengan sebab orang-orang yang lemah di antara kalian?” (Hadis Riwayat Bukhari). Wallahu A'lam Bis Showab.
BACA JUGA
Kategori:
juru selamat
juru selamat indonesia
nafas zaman
pedagang kaki lima
penjaga kedaulatan
penyelamat indonesia
peran pkl
the savior of indonesia