Sang Pembela Nabi

HADRATUS SYEKH HASYIM ASY'ARI PEMBELA NABI YANG SEJATI

Oleh : Muhammad Syafii Kudo*

Sang Kyai

Usianya yang hampir menginjak 70 tahun pada 5 Desember 1940 tidak membuat KH Hasyim Asy’ari melepaskan diri dari problem-problem kebangsaan dan keagamaan di tanah air.

Apalagi saat itu bangsa Indonesia masih berada dalam penjajahan Belanda. Mereka tidak hanya mengeksplorasi sumberdaya alam, tetapi juga memperlakukan masyarakat secara tidak manusiawi dan terus menekan serta membatasi gerak-gerik para tokoh Islam, terutama di pondok pesantren.

Sebagai sebuah pemerintahan, Hindia-Belanda mendapat sorotan terhadap kondisi menyimpang warganya karena mereka juga memberlakukan perundang-undangan.

Sejak 1918, penghinaan terhadap Rasulullah Muhammad SAW kerap terjadi di media cetak dan mimbar-mimbar pidato. Sebagai tokoh yang turut bertanggung jawab atas keteguhan akidah masyarakat, KH Hasyim Asy’ari tidak tinggal diam.

Karena kasus tersebut telah mengakar lama hingga akhir 1940, KH Hasyim Asy’ari dalam kesempatan Muktamar ke-15 Nahdlatul Ulama di Surabaya yang berlangsung 9-15 Desember 1940 (10-15 Dzulqo’dah 1359) menyampaikan ketegasannya terhadap para penghina Nabi.

Walau demikian, secara regulasi pemerintahan tidak serta KH Hasyim Asy’ari bertindak sendiri, tetapi tetap melalui saluran pemerintahan yang tidak lain ialah Kolonial Belanda.

Dengan menuntut ketegasan Pemerintah Hindia-Belanda, secara tidak langsung ulama pesantren ingin menunjukkan bahwa pemerintahan tidak dijalankan dengan baik dan adil karena para penghina Nabi bertebaran di media cetak dan mimbar-mimbar sehingga memunculkan gejolak akidah di tengah masyarakat.

Kiai Hasyim Asy’ari melontarkan seruan ketika menyampaikan khutbah iftitah dalam Muktamar ke-15 tahun 1940 di Surabaya. Dalam salah satu penggalan khutbahnya, Kiai Hasyim Asy’ari berkata: “Ujian bagi kita belumlah reda. Kini makin terasa betapa semakin hebatnya usaha musuh-musuh Islam hendak memadamkan cahaya Allah SWT.

Berulangkali melalui media pers dan mimbar-mimbar dilancarkan serangan penghinaan terhadap junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Kami sudah mendesak kepada pemerintah (Hindia-Belanda) agar menempatkan satu fasal dalam peraturan perundang-undangan tentang hukuman bagi orang-orang dan golongan dari mana pun datangnya yang menyerang kesucian Islam serta penghinaan terhadap Nabi Besar Muhammad SAW. Tetapi, teriakan kita itu hilang lenyap bagaikan teriakan di padang pasir. Maka sekarang tidak ada jalan lain, kita langsung memohon kepada Allah SWT, Dzat Yang Maha Pendengar dari pemohon segenap hamba-Nya.” (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013: 206).

Membaca sepenggal kisah tersebut, siapapun yang fikirannya masih terbuka pasti akan mafhum bahwa para Muasis Nahdlatul Ulama (terutama Mbah Hasyim) adalah tipikal para Ulama pejuang.

Mereka adalah Ulama yang istiqomah menegakkan Amar Makruf Nahi Munkar yang tidak akan diam manakala agamanya dihina, dilecehkan dan dinistakan.

Seandainya Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari yang demikian besar Ghirah pembelaannya kepada Nabi hidup di zaman ini pasti beliau akan diberi label Radikalis, sumbu pendek, dan penganut islam marah-marah alias bukan islam ramah oleh media kaum Liberal.

Sejarah memang tidak akan berbohong. Dan generasi hari ini mesti tahu sirah dan manaqib para Salafnya. Bahwasannya kita memiliki para Ulama Salaf berakidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah yang tidak saja mumpuni dalam ilmu namun juga "garang" dalam berjuang membela akidah.

Mereka adalah pewaris sejati para Nabi. Dan Nabi Muhammad Saw adalah satu-satunya role model teladan mereka.

Sebagai panutan (uswah) tentu Nabi Muhammad Saw adalah sosok sempurna tanpa cacat. Baik dari segi jasmani (bashariyah) apatah lagi dari sisi akhlak seperti penjelasan dari berbagai hadis yang juga banyak dinukil dalam kitab-kitab Maulid.

Di zaman Mbah Hasyim, para musuh Islam banyak yang melecehkan Nabi Muhammad Saw. Dan Mbah Hasyim tegas mendesak rezim penguasa saat itu (Kolonialis Belanda) untuk menempatkan pasal khusus dalam perundang-undangan agar para penghina Islam dan Nabi Muhammad Saw bisa dihukum.

Berbeda dengan keadaan zaman kita. Jikalau di masa Belanda yang menghina Nabi Muhammad adalah para Kafirin dan Munafikin, ironisnya kini yang menghina Nabi Muhammad Saw bukan hanya kafirin dan munafikin, tapi ada juga oknum ulama dari ormas yang merupakan bentukan Mbah Hasyim Asyari sendiri. Ironis sekali.

Seperti yang sedang hangat, setelah masalah rembes dan Nabi lahir biasa saja, ternyata ada pula guyonan dalam ceramahnya yang dinilai merendahkan Sayyidah Aisyah Ra kala dinikahi Nabi dalam usia muda.

Padahal di dalam Hadis dijelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw tidaklah menikah atau menikahkan (orang lain) kecuali atas perintah Allah Swt.

Hal ini dibuktikan manakala ada seorang wanita yang mengajukan dirinya agar dinikahi oleh Nabi namun beliau diam saja sebab tiada perintah dari Allah.

Juga saat Sayyidina Abubakar, Umar, Usman Radiyallahu Anhum melamar Sayyidah Fatimah Al Batul, Nabi juga diam. Dan setelah yang melamar adalah Sayyidina Ali Kwh maka Nabi mengiyakan sembari berkata, "Sebelum Ali menikahi Fatimah di dunia, mereka sudah dinikahkan oleh Allah di langit."

Ini artinya Sayyidah Aisyah Ra. yang menikahkan dengan Nabi Muhammad Saw adalah Allah Swt sendiri. Sebab Nabi Muhammad Saw tidak berkata sesuai kehendak nafsunya melainkan berdasarkan wahyu.

Jadi sulit dicerna akal sehat jika ada Muslim apalagi Ulama yang nyinyir dan mengkritik pernikahan Nabi dengan sang "Humairo" tersebut.

Pernikahan dengan wanita muda di zaman Nabi adalah sebuah hal yang lumrah. Maka sangat wajar jika Kafir Quraisy yang sangat benci kepada Nabi dan selalu mencari celah untuk merusak nama Nabi tidak pernah "menyerang" Nabi dalam masalah pernikahan tersebut.

Sebab hal itu adalah Urf di zaman itu. Dan tiap zaman dan tempat memiliki Urf nya masing-masing. Dan hanya Orientalis, Missionaris, Zending dan kaum Liberal yang biasanya menyerang Nabi lewat masalah pernikahan tersebut.

Lantas apakah mungkin seorang yang dicap sebagai Ulama dari ormas Aswaja tidak paham akan hal itu. Bagaimana bisa seorang Da'i yang mengaku baca hadis Nabi setiap hari bisa berkata kurang pantas kepada Nabi dan juga istrinya.

Sebab yang melakukan penistaan keji kepada istri-istri Nabi hanyalah para Kafirin dan Rafidhah. Dan tak mungkin dilakukan oleh mereka yang berakidah Aswaja.

Jika mengaku selalu membaca Kitab hadis, mengapa dia lupa bahwa ada riwayat dari Sayyidina Husain dari Sayyidina Ali Bin Abi Thalib Kwh. bahwa Rasulullah Saw bersabda,"Barangsiapa yang menghina Nabi maka bunuhlah dia. Dan barangsiapa yang menghina para sahabatku maka pulullah dia." (As Syifa' Juz 2 halaman 136-137).

Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari sudah menulis peringatan tentang pentingnya menjaga kesucian agama di dalam kitab Muqaddimah Qonun al-Asasi li Jam’iyati Nahdhatil Ulama dan Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah.

Dalam kitab Qonun al-Asasi, Syaikh Hasyim Asy’ari telah melihat terjadinya kerancuan dalam keyakinan kaum Muslimin pada zaman itu. Di antaranya, ada kaum yang membalik konsep al-haq (kebenaran), sehingga yang ma’ruf dianggap munkar, yang mungkar dianggap ma’ruf (Hasyim Asy’ari, Qonun al-Asasi li Jam’iyati Nahdhatil Ulama,hal. 24).

Peringatan Mbah Hasyim itu mulai menyata hari ini. Sebab orang yang menegakkan Amar Makruf Nahi Munkar kini malah dicap sebagai perusak agama dan negara.

Ini sesuai ucapan dari Sahabat Hudzaifah r.a. yang mengatakan bahwa kelak di akhir zaman akan datang kepada manusia suatu zaman yang di dalamnya mereka lebih suka bila bersama dengan bangkai keledai daripada seorang mukmin yang memerintahkan kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran.

Bahaya Fanatik Buta

Sayyidina Ibnu Mas'ud Ra. mengatakan bahwa zaman sahabat adalah zaman dimana hawa nafsu mengikuti ilmu. Namun akan datang zaman dimana ilmu akan mengikuti (mengekor) kepada hawa nafsu.

Ilmu bisa kalah oleh nafsu salah satunya akibat terkena fanatisme buta. Baik fanatik ormas, golongan, partai dll. Orang yang fanatik buta tidak akan bisa melihat kebenaran meski cahayanya seterang matahari.

Ironis, ketika Al Quran, Islam, dan Nabi dihina kaum fanatik buta diam. Dan dengan sok bijak mengatakan bahwa Nabi itu pemaaf, Islam tidak perlu dibela, lebih baik damai demi kerukunan dll. Namun manakala tokoh ormas atau golongannya dicela mereka akan siap pasang badan bahkan siap berani mati membelanya.

Dan uniknya juga manakala tokohnya dikritik akibat menghina Nabi bukan malah Nabi yang dibela namun tetap si tokoh yang menghina  Nabi tersebut. Inilah fanatisme buta. Manakala oknum kyai ormas (golongan) bisa mengalahkan kedudukan Nabi dan Al Quran.

Padahal pendiri NU sudah berpesan jauh hari, “Wahai para ulama’ yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap urusan furu’(cabang agama), dimana para ulama telah memiliki dua pendapat atau lebih yaitu; setiap mujtahid itu benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini (fanatisme).

Pertahankanlah agama Islam, berusahalah sekuat tenaga memerangi orang yang menghina al-Qur’an, menghina sifat Allah dan tunjukkanlah kebenaran kepada para pengikut kebatilan dan penganut akidah sesat. Ketahuilah, jihad dalam usaha memerangi (pemikiran-pemikiran) tersebut adalah wajib” (Hasyim Asy’ari, Mawa’idz, hal. 33 dalam kompilasi kitab Hasyim Asy’ari, Irsyadu al-Sariy fi Jam’i Mushannafati al-Syaikh Hasyim Asy’ari).

Sebagai kaum Nahdliyyin yang baik pasti kita akan mengikuti dawuh Mbah Hasyim tersebut.

Kemana Kita ?

Menyikapi keadaan zaman yang makin gulita ini hendaknya kita memiliki pegangan yang kuat.

Pegangan terkuat di akhir zaman tentu Al Qur'an dan Sunnah Nabi. Serta Ulama-ulama lurus yang istiqomah berada di atas jalur Salaf Sholih.

Cibiran, hujatan, dan tekanan baik dari media sosial dan masyarakat adalah sebuah sunatullah yang berulang kepada para penyeru Haq di tiap zaman.

Ingat Imam Ahmad Bin Hanbal dulu tetap teguh di atas prinsip Aswaja yang menyatakan bahwa Al Quran adalah kalamullah.

Padahal penguasa di zaman itu yang beraliran Muktazilah  berpendapat bahwa Al Quran adalah makhluk.

Semua ulama juga umat saat itu dipaksa memiliki satu pikiran bahwa Al Quran adalah makhluk, dan itu harga mati.

Namun Imam Ahmad Bin Hambal adalah satu-satunya yang secara terang-terangan menolak tunduk. Beliau lebih rela disiksa penguasa daripada menghinakan Al Quran.

Tentu beliau salah satu contoh Ulama yang wajib kita teladani. Terutama di zaman now dimana Al Quran dan Nabi makin sering dihinakan. Dan manakala banyak ulama Su' alias Setan Bisu yang diam pasrah pada hal itu.

Dari Abu Hurairah ra, bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam:

يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ يُخَيَّرُ فِيهِ الرَّجُلُ بَيْنَ الْعَجْزِ وَالْفُجُورِ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ الزَّمَانَ فَلْيَخْتَرْ الْعَجْزَ عَلَى الْفُجُورِ

“Akan datang pada kalian semua suatu zaman di mana seorang laki-laki akan dihadapkan pada pilihan antara kondisi ketidakmampuan dan kemaksiatan di mana-mana. Barangsiapa yang mendapatkan zaman tersebut maka hendaknya dia memilih sebagai pihak yang tertekan daripada harus melakukan tindakan kemaksiatan. [HR. Ahmad, hadits no. 7686).

Mari tetap beramar makruf nahi munkar seperti yang dilakukan Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari. Jadilah pembela Nabi sesuai kapasitas masing-masing.

Dari Abu Umaiyyah Asy-Sya‘bani ra, dia berkata: Aku pernah mendatangi Abu Sya‘labah Al-Khusyani dan bertanya kepadanya, “Bagaimana pendapatmu mengenai ayat ini?” Dia bertanya, “Ayat yang mana?” Maka aku pun membaca ayat: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi madharat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk. (Al-Mâ’idah [5]:105).” Maka dia pun menjawab, “Demi Allah, engkau telah menanyakannya kepada orang yang ahli tentangnya. Aku pernah menanyakan makna ayat ini kepada Rasulullah saw. Maka, beliau bersabda,

بَلْ ائْتَمِرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنَاهَوْا عَنْ الْمُنْكَرِ حَتَّى إِذَا رَأَيْتَ شُحًّا مُطَاعًا وَهَوًى مُتَّبَعًا وَدُنْيَا مُؤْثَرَةً وَإِعْجَابَ كُلِّ ذِي رَأْيٍ بِرَأْيِهِ فَعَلَيْكَ بِخَاصَّةِ نَفْسِكَ وَدَعْ الْعَوَامَّ فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامًا الصَّبْرُ فِيهِنَّ مِثْلُ الْقَبْضِ عَلَى الْجَمْرِ لِلْعَامِلِ فِيهِنَّ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِينَ رَجُلًا يَعْمَلُونَ مِثْلَ عَمَلِكُمْ

‘Teruskanlah olehmu untuk selalu melakukan amar makruf nahi munkar hingga engkau akan menyaksikan kekikiran yang ditaati, hawa nafsu yang diperturutkan, kehidupan dunia yang diutamakan, serta orang-orang yang terpesona terhadap berbagai pendapat yang dikeluarkannya. Hendaknya kamu hanya bergaul dengan orang-orang yang searah denganmu dan jauhilah orang-orang yang awam. Sebab setelah zamanmu itu akan datang suatu zaman penuh cobaan di mana orang yang memegang teguh agamanya ibarat menggenggam bara api. Ketahuilah, saat itu orang yang terus berusaha untuk memegangi agamanya maka pahalanya sama dengan 50 orang yang juga melakukan hal yang sama dari kalian’. [HR. Abu Dawud, Al-Malâhim, hadits no. 4319]. Wallahu A'lam Bis Showab.

*Penulis adalah Bloger Muslim Indonesia
Dimuat Di :

BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama