JILBAB DALAM SOROTAN KAUM LIBERAL
Oleh : Muhammad Syafii Kudo
Beberapa waktu lalu dalam sebuah wawancara di kanal Youtube seorang presenter, ada seorang tokoh wanita yang dikenal sebagai pegiat Pluralisme agama melemparkan sebuah pernyataan yang membuat panas jagad diskusi fikih tanah air.
Dia menyatakan bahwa wanita muslim tidak wajib memakai jilbab. Statement tersebut sontak menimbulkan pro dan kontra di tengah umat.
Meski pernyataan itu sebenarnya tak terlalu mengagetkan sebab pemikiran liberal si tokoh wanita memang sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat.
Banyak pihak yang menyanggah, ada yang mendukung serta ada pula yang hanya diam menjadi pengamat.
Diamnya beberapa Kyai bisa jadi dilatari karena rasa "sungkan" kepada si tokoh wanita yang memiliki "darah biru" di kalangan pesantren NU karena dia merupakan cucu salah satu kyai besar NU.
Dan ditambah lagi suaminya juga adalah cucu langsung pendiri NU yang juga mantan petinggi NU.
Bagi kalangan yang bersuara menolak pendapat tersebut tentu hal itu tidak didasari karena kebencian namun semata-mata alasan objektifitas ilmiah sebagai konsekuensi logis tanggung jawab keilmuan.
Sebab se-tokoh apapun seseorang jika pernyataannya bertentangan dengan Nash Al Qur'an, Hadis, dan Ijmak Ulama maka sudah tentu wajib ditolak.
Hal ini sesuai pendapat Imam Syafii sang rujukan utama Ulama NU yang mengatakan,
ِإن رأيتمُ قَولي مخالفًا لما رويتمۡ من الْحديثِ فَاضرِبوا الجدارَ بقَوليَ الْمخالفِ الأَخبارَ
“Jika kalian melihat perkataanku menyelisihi hadits yang kalian riwayatkan, maka campakkanlah ke dinding perkataanku yang menyelisihi hadits itu.”
Ihwal aurat wanita sudah banyak dibahas oleh para ahli Fikih. Bahkan Imam 4 Mazhab secara Ijmak yang mu'tamad mengatakan bahwa menutup Aurat adalah wajib. Ini sesuai perintah Allah Swt,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri -istri orang-orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Ahzab : 59)
Namun para pejuang anti kewajiban berjilbab tetap tak tinggal diam, demi mencapai kepentingannya, mereka masih mencari celah dari perbedaan pendapat para Ulama mengenai letak batasan aurat.
Padahal yang menjadi pro dan kontra di antara ulama salaf ihwal bagian tubuh yang boleh terlihat atau yang tidak hanyalah pada wilayah wajah dan telapak tangan saja, namun oleh pegiat SEPILISME hal itu coba diperluas.
Salah satu rujukan kaum SEPILISME adalah buku karya Quraish Shihab yang berjudul Jilbab Pakaian Wanita Muslimah : Pandangan Ulama Masa Lalu Dan Cendikiawan Kontemporer.
Dalam buku tersebut banyak kejanggalan yang dikritik oleh para Ulama. Baik dari segi pengutipan sumber referensi, dan metode penyimpulan pendapat yang tak tuntas, dan minimnya referensi kitab fikih yang disertakan.
Cendikiawan kontemporer yang dijadikan sebagai pembanding para ulama salaf yang dimaksud Quraish Shihab juga dinilai tidak otoritatif.
Menurut Dr. Adian Husaini, dalam bukunya tersebut Quraish Shihab banyak mengambil pendapat dari tokoh yang tidak otoritatif seperti Nawal Sa'dawi (Feminis Mesir), Syahrur (Penulis buku Milkul Yamin yang kontroversial), dan tokoh sekuler Mesir bernama Muhammad Said Al Asymawi.
Bahkan masih menurut Dr. Adian Husaini, sekitar 30 persen isi buku Quraish Shihab mengambil dari buku Haqiqatul Hijab Wa Hujjiyatul Hadis karya Asymawi.
Asymawi adalah tokoh Pluralisme asal Mesir yang menganggap kebenaran tiap agama adalah relatif.
Dalam salah satu tulisannya dia mengatakan bahwa perbedaan bentuk agama-agama hanyalah soal perbedaan verbal, perbedaan interpretasi linguistik, perbedaan sikap filosofis.
Manusia percaya kepada huruf dan berbeda pendapat tentangnya dan tidak punya definisi yang pasti tentang huruf dan tidak menjauhkan iman dari huruf. (Against Islamic Extremism, Gainesville: University Press Of Florida, 1998, hal. 56-57).
Asymawi yang berfikiran hermeneutis juga menganggap bahwa tidak ada yang Qath'iy (pasti) dalam Al Quran. Semua bisa ditafsirkan sesuai kehendak mufasir dan berdasarkan situasi. Termasuk dalam hal ini adalah ayat tentang jilbab yang boleh ditafsirkan sekehendaknya.
Pemikiran berbahaya yang dikutip oleh Quraish Shihab dalam bukunya tersebut jika diterapkan di tengah umat Islam tentu akan menimbulkan kerusakan yang besar.
Sebab semua ayat bisa ditafsirkan semaunya dan sesuai kepentingan. Dan akhirnya ajaran Islam akan dikanibalisasi sesuai kebutuhan zaman.
Pemikiran ini pula yang dilontarkan si tokoh wanita saat ditanya kenapa berani mengatakan jilbab tak wajib bagi muslimah. Dia mengatakan bahwa dia menafsirkan Al Qur'an secara kontekstual bukan tekstual.(http://seleb.tempo.co/read/1295839/sinta-nuriyah-jilbab-tak-wajib-bagi-perempuan-muslim?utm_source=dable)
Menurutnya penafsiran mayoritas Ulama termasuk para Mujtahid Mutlak dianggap keliru karena ayat Al Quran sudah melewati banyak terjemahan yang bisa saja terpapar kepentingan pribadi para mufassirin.
Artinya secara tidak langsung tokoh wanita tersebut mengatakan penafsiran (ijtihad) yang sudah ijmak dari para jumhur Ulama terhadap ayat mengenai jilbab selama ini keliru.
Jika sekaliber ulama 4 mazhab yang bergelar mujtahid mutlak dianggap salah, lalu penafsiran siapakah yang benar menurutnya?
Tentunya penafsiran yang sesuai kepentingan kelompoknya.
Quraish Shihab dalam bukunya tersebut ketika menulis pandangan cendikiawan kontemporer, memulainya dengan pendapat Qosim Amin yang membolehkan wanita tidak berjilbab.
Qosim Amin (1803-1908) adalah tokoh sekuler Mesir alumni Prancis yang dididik oleh para Orientalis.
Dalam bukunya Tahrir Al Mar'ah (Pembebasan Perempuan) dia mengajak para wanita Mesir menanggalkan jilbabnya. Dia menulis bahwa tidak ada satupun ayat di dalam Al Qur'an yang mewajibkan wanita memakai pakaian khusus berupa jilbab.
Dia juga membolehkan wanita menampakkan sebagian tubuhnya pada lelaki non Mahram.
Lewat pemikirannya itu, Qosim Amin dianggap sebagai penanggung jawab utama banyaknya muslimah Mesir yang kini melepaskan jilbab, berpakaian ketat, dan berani berbikini.
(Dr. Ahmad Zain An Najah, M.A., Jilbab Menurut Syariat Islam : Meluruskan Pandangan Prof Dr. Quraish Shihab Hal. 65-67).
Dalam bukunya tersebut, Quraish Shihab juga dinilai tidak adil dalam menyertakan berbagai pendapat yang ada.
Bahkan terkesan lebih memihak kepada pendapat nyeleneh para cendikiawan sekuler dibanding para ulama masa lalu.
Buktinya dia hanya menulis sebanyak 62 halaman saja mengenai banyaknya pendapat ulama yang mewajibkan menutup semua anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan dalam masalah aurat berdasar dalil-dalil yang dinukil dari nash Al Qur'an dan Hadis.
Dan menulis sebanyak 49 halaman untuk pendapat nyleneh tidak wajibnya berjilbab yang hanya diwakili oleh dua pendapat cendikiawan sekuler, Asymawi dan Syahrur.
Padahal keduanya bukan ulama dan tidak otoritatif dalam masalah hukum fikih. Namun Quraish Shihab berani menukil pendapat mereka untuk melawan pendapat mayoritas ulama salaf.
Dan uniknya Quraish Shihab sendiri mengakui bahwa Syahrur dalam memaparkan pandangannya mengenai tidak wajibnya berjilbab tidak menggunakan dalil sama sekali melainkan subyektitas belaka.
(Dr. Ahmad Zain An Najah, M.A., Jilbab Menurut Syariat Islam : Meluruskan Pandangan Prof Dr. Quraish Shihab Hal. 125-126).
Dari berbagai kejanggalan buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah : Pandangan Ulama Masa Lalu Dan Cendikiawan Kontemporer karya Quraish Shihab tersebut kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa Quraish Shihab cenderung berpendapat bahwa berjilbab memang tak wajib.
Ada sebuah pepatah bijak berbunyi,
يُعۡرَفُ الرَّجُلُ بِمَا يَقۡرَاُ
"Seseorang itu diketahui melalui apa yang dia baca"
Jika seseorang suka (gandrung) membaca buku para Liberalis-Sekularis maka kecenderungannya adalah dia akan berfikiran seperti mereka.
Referensi yang dikutip Quraish Shihab yang berasal dari tokoh-tokoh Sekuler menandakan kecondongannya pada pemikiran mereka.
Dan ini makin terbukti dengan fakta bahwa salah satu putrinya yang menjadi presenter terkenal tidak memakai jilbab karena berpegang pada fatwa ayahnya tersebut.
Pendapat Quraish Shihab ini juga menjadi pegangan bagi para pegiat SEPILISME. Karena buku tersebut banyak menjadi rujukan mereka saat membahas masalah jilbab.
***
Sebagai penutup, kami berpendapat bahwa pro dan kontra masalah jilbab ini tidak akan bergulir sebesar ini jika yang mengucapkannya adalah orang biasa.
Namun karena yang melemparkan pendapat adalah seseorang yang ditokohkan, apalagi didukung dengan pendapat (buku) dari seseorang yang sudah dianggap ulama besar dan tokoh bangsa maka dampaknya menjadi sangat besar.
Yakni terbelahnya masyarakat dalam 2 kutub pendapat. Dan menjadikan umat berada dalam kebingungan.
Padahal tergelincirnya Ulama adalah musibah besar bagi umat.
اِنََّ زَلَّۃَ الۡعَالِمِ كاَ السَّفِيۡنَۃِ تَغۡرَقُ وَيَغۡرَقُ مَعَهَا خَلۡقٌ كَثِيۡرٌ
"Sesungguhnya kesesatan seorang Alim itu seperti sebuah bahtera yang tenggelam. Niscaya akan ada banyak makhluk yang ikut tenggelam bersamanya."
Wallahu A'lam Bis Showab (admin/senyapena)
BACA JUGA
Kategori:
feminisme
hijab
jaringan islam liberal
jil
jilbab
jilbab tidak wajib
mata najwa
najwa shihab
pluralisme
quraish shihab
sepilisme
sinta nuriyah wahid