The Santri

The Real Santri

Oleh : Ahmad Abu Ali

Santri

Masih hangat dalam ingatan mengenai kegaduhan yang kemaren ramai diperdebatkan oleh umat Islam Indonesia, terutama kaum sarungan di Pesantren.

Sebuah kegaduhan dari sekian banyak kegaduhan yang belakangan makin sering dimunculkan di Indonesia. Mengapa saya sebut kegaduhan yang "dimunculkan", sebab mengutip beberapa analisa para pemerhati sospolhukam, kegaduhan-kegaduhan itu memang banyak yang  By Design oleh para pembenci Indonesia khususnya umat Islam di Nusantara. 

Sebuah kegaduhan dari sekian  kegaduhan yang kami maksud dalam tulisan ini adalah masalah film The Santri. Mengapa film ini bisa menjadi polemik. Bukankah ini sebuah karya seni, demikian dalih para pembelanya. 

Namun bagi para pengkritiknya, film besutan sutradara "Hollywood" asal Blitar itu dinilai telah melecehkan Marwah Pesantren dan Santri. Sebab banyak adegan dalam film itu yang dianggap tidak sesuai dengan laku dan akhlak para Santri. 

Seperti adegan berkhalwat dan juga adegan yang paling disorot, santriwati ngasih tumpeng kepada pemuka agama di dalam tempat ibadah non Muslim. Memang jika diambilkan dari hukum-hukum Fikih maka pembahasan mengenai kebolehan memasuki tempat ibadah Kafirin bisa saja dicarikan. 

Namun Islam tak melulu soal "fikih an sich". Sebab masih ada parameter lain yaitu baik buruknya kelakuan ditinjau secara akhlak dan akhidah. Bahkan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratus Syeikh Hasyim Asy'ari Dalam Kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim, merangkum sedikitnya ada 10 etika-etika santri atau pelajar. Dalam adab ke 7 beliau menjelaskan bahwa Santri harus bersikap Wara' (menjauhi perkara Syubhat) dan berhati-hati dalam segala hal. Dari petuah Mbah Hasyim ini jelas adegan berkhalwat dan masuk ke dalam gereja sembari memberi tumpeng masuk ke dalam apa yang dilarang, yaitu perkara yang syubhat bahkan bisa jadi haram.

Bahkan Al Anfas Al Habr Al Quthb Al Habib Abdul Qodir Bin Ahmad Bil Faqih Ba'lawy (Pendiri Ponpes Darul Hadis Al Faqihiyah Malang) menyatakan bahwa melihat wajah orang kafir dapat mengeraskan hati selama 40 hari (Miah Faidah juz 3 halaman 21). 

Dan pernyataan dari Sulthonul Auliya' Al Quthb Syeikh Abdul Qodir Al Jaelani dalam kitab al-ghunyah li Thalibi Thariq al-haqq bahwa disunahkan membaca syahadat saat melihat tempat ibadah orang kafir. Ini menandakan bahwa Ghirah dalam masalah akidah harus diutamakan. 

Dua waliyullah bergelar (Quthb) yang sudah mencapai puncak Maqom kewaliyan saja bisa berpendapat demikian. Ini menandakan Ghirah terhadap akidah yang sangat tinggi juga upaya mendidik umat agar terhindar dari virus perusak akidah meski sekecil apapun. 

Dalih toleransi yang selalu dipakai para kaum Liberal sebenarnya adalah racun bagi umat ini. Sebab bentuk tasamuh dalam Islam sangat banyak dan puncak tasamuh tertinggi dalam Islam adalah seperti yang dijelaskan dalam surah Al Kafirun dengan Term Lakum Diinukum Waliyadiin. 

Jika hari ini kita banyak menyaksikan tokoh-tokoh yang hobi "maen" ke tempat ibadah Non Muslim, maka ingatlah pesan Kyai Hamid Pasuruan yang selalu berpesan barangsiapa yang "model-model" (berlaku aneh-aneh menyelisihi Salaf Saleh) maka dia akan berakhir "modol-modol" (hancur binasa). 

Jadi intinya ikut saja ulama Salaf. Mereka tidak pernah blusukan ke tempat-tempat dimana Allah disekutukan, berbeda dengan beberapa tokoh yang dianggap Ulama di akhir zaman ini yang hobi ke tempat ibadah Non Muslim.

                        The Real Santri                   

Santri dalam bahasa Arab terdiri dari huruf Sin, Nun, Ta’, Ro’, dan Ya’. Dan  masing-masing huruf tersebut mengandung filosofi yang bagus.

Huruf Sin س singkatan dari: Saalikun Ila al-Akhirah. Santri harus menuju pada
jalan akhirat.

Huruf Nun  Ù† singkatan dari: Naaibun ‘ani al-Masyayikh. Santri adalah sebagai
pengganti para guru (Ulama).

Huruf Ta’ ت singkatan dari: Taarikun ‘ani al-Ma’ashi. Santri harus mampu
menjauhkan diri dari kemaksiatan.

Huruf Ro’ ر singkatan dari: Rooghibun fi al-Khoirot. Santi harus senang
terhadap kebaikan.

Huruf Ya’  ÙŠ singkatan dari: Yarju as-Salamata fi ad-Diini waddunya wal akhirah.
Santri harus selalu mengharapkan (mempunyai harapan menuju) keselamatan
di dalam agama, dunia, dan akhirat.

Bahkan menurut Almaqfurlah Kyai Hasani Nawawi Sidogiri yang dikutip oleh Habib Abubakar Bin Hasan Assegaf Pasuruan dalam cuitannya di Twitter (17-09-
2019), Santri berdasarkan peninjauan tindak langkahnya adalah orang yang
berpegang teguh pada tali Allah Swt yang kuat (Al Quran) dan mengikuti Sunnah Rasulullah Saw serta teguh pendirian dalam setiap keadaaan. 

Ini adalah arti dengan bersandar sejarah dan kenyataan yang tidak dapat diganti dan diubah selama-lamanya. Dan Allah lah Yang Maha Mengetahui atas kebenaran sesuatu
dan kenyataannya.

Liberalisasi Islam ?
                                       
Ada lagi yang disorot dari film tersebut yaitu pengiriman santri terbaik ke Amerika. Entah apakah ini karena sekedar pengaruh sutradaranya yang asli Blitar namun berkarier di Hollywood ataukah ada re-promosi liberalisasi Islam
dalam pemikiran islam dan Perguruan Tinggi ala Dr. Harun Nasution pada tahun
1970-an yang mana bertujuan melakukan perubahan kurikulum dalam perguruan tinggi Islam, sehingga di zamannya banyak pemuda islam diarahkan melanjutkan studi islam ke Barat (Amerika, Kanada, Prancis dll) sehingga ketika kembali ke tanah air mereka menjadi pengusung pluralisme dan sekularisme islam. 

Awalnya mereka diberangkatkan ke negeri-negeri Barat. Alih-alih melanjutkan studi Islam ke pusat pengajaran Islam seperti Haramain, Hadramaut, Al Azhar dll, mereka malah dikirim untuk "ngaji" kepada para Orientalis Barat. 

Inilah proyek liberalisasi yang patut diwaspadai. Lalu apakah film itu mengarah kepada proyek liberalisasi Islam? Entahlah, namun dari sini kita dapat melihat bahwasannya kritik terhadap film tersebut oleh beberapa pesantren dan Ulama adalah wajar adanya. Karena mereka menilai ada masalah pemahaman yang keliru yang diusung dalam film tersebut. 

Bukan karena benci kepada NU secara Jam'iyyah seperti yang dituduhkan oleh para pembela film yang direstui PBNU tersebut. Sebab banyak Ulama NU (struktural dan non struktural) yang juga tidak sepaham dengan film tersebut. Film memang benar adalah sebuah karya seni. Namun jangan lupakan pula bahwa film adalah juga alat propaganda. Entah itu propaganda Haq atau Batil. Wallahu A'lam. (senyapena).

BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama